Masa-Masa Awal Perantauan

sumber : https://i.vimeocdn.com/
Tahun 2011, saat lulus SMA, aku pernah bermimpi untuk kuliah di luar kota seperti keinginan semua teman-temanku. Tapi sayang, waktu itu aku nggak mendapat restu dari orang tua. Hingga akhirnya setelah lulus menjadi ahli madya keperawatan pada tahun 2014, akhirnya Mamak dan Bapak memberikan restunya supaya aku bisa melanjutkan pendidikanku di kota Surabaya. Dan tahun 2015, alhamdulillah, dengan restu-Nya dan kedua orangtuaku akhirnya aku bisa melanjutkan pendidikan S1-ku di Universitas Airlangga Surabaya.
See? Allah itu sayang sama setiap makhluk-Nya dan akan mengabulkan setiap permintaan hamba-Nya. Mungkin dulu di tahun 2011, bukan waktuku untuk kuliah di luar kota. Tapi akhirnya Allah menghadiahkanku untuk berkuliah di luar kota pada tahun 2015. Jadi apa pun mimpimu itu, minta saja sama Allah, insyallah Dia akan mengabulkannya diwaktu yang tepat.
Tapi sayang, sejalan dengan terkabulnya mimpiku, terdapat ujian yang telah menanti. Ujian ini biasa disebut dengan me-ran-tau. Ya dulu aku kira merantau itu asik, bebas, damai. Tapi ternyata, sedih. Dan dibawah ini adalah beberapa hal yang aku alami di minggu pertama masa perantauanku.

1. Kurang srek sama tempat tinggal yang baru
Bulan Juli kemarin, Mamak dan Bapak sempat pergi ke Surabaya untuk mencarikanku tempat kos. Dan mereka berhasil menemukan kos dengan biaya 5 juta/tahun. Iya, mereka langsung bayar kontan setahun. Sekali lagi se-ta-hun. Itu artinya mau nggak mau, betah nggak betah, aku harus tinggal di kos itu selama setahun. Fasilitas yang di dapat hanya ranjang, lemari, kursi, meja kecil, dan kamar mandi luar. Nggak kenal dengan para penghuni kos dan konidisi yang jauh berbeda dengan rumahku, sempat ngebuat aku ngerasa nggak betah disini. Tapi kembali kekenyataan bahwa suka atau tidak suka, aku harus tetap tinggal disini selama se-ta-hun.
2. Sering miss communication karena perbedaan bahasa
Aku terlahir dari seorang Bapak yang bersuku Jawa dan Ibu yang bersuku Kutai, tapi bukan berarti aku orang Jawa atau pun Kutai. Aku lebih suka mengaku sebagai orang Indonesia. Karena aku nggak menguasai kedua bahasa itu, baik bahasa jawa atau pun bahasa kutai. Ya walau pun tau lah sedikit-sedikit. Tapi tetap aja tiap ada orang yang ngajak ngomong bahasa Jawa, aku cuma bisa natap pake tatapan kosong, mulut melongo, sambil berkata dalam hati “Ngomong apa sih pak?”. Aku bahkan pengen banget nulis di jidat tulisan “Maaf, jangan diajak ngomong pake bahasa Jawa. Orangnya nggak ngerti”.
3. Tiap malam nangis pengen pulang
Ini yang paling berasa banget waktu awal-awal masa perantauan. Nangis tiap malam karena kangen rumah, nyesel karena nekat merantau dan bawaannya pengen pulang mulu. Liat mama jalan sama anaknya, nangis. Liat anak kecil, nangis. Liat galeri poto, nangis. Liat mantan jalan sama pacar barunya, nangis #eh. Apalagi memasuki waktu magrib ke atas, homesick udah nggak bisa tertahankan lagi. Cuma bisa nangis sambil liat galeri atau dengerin rekeman telpon.

4. Makan nggak teratur
Di rumah, aku akuin kalau aku suka malas makan. Disini, tambah malas lagi. Apalagi kalau udah di kos, rasanya mager banget bawaannya buat nyari makan di luar. Ditambah lagi makannya cuma sendiri, makin bikin males. Makan ya paling parah cuma sekali sehari, itu pun waktu malam, pas udah nggak tahan buat nahan lapar. Semoga saja mamaku nggak sedih karena anaknya makin kurus disini.
5. Ngerasa nggak punya teman
Di kos, aku nggak kenal siapa-siapa. Di kampus, beberapa orang sudah aku kenal tapi sayangnya belum akrab. Kerasa banget di waktu teman-teman yang lain udah pada ngobrol akrab, tapi akunya cuma bisa diam. Sesaat ngerasa isolasi sosial. 
sumber : http://3.bp.blogspot.com/
Itu dia penderitaan-penderitaan yang pernah aku rasain di awal perantauan. Meski rasanya berat, meski tiap malam bawaannya pengen kabur ke bandara, tapi semua ini harus tetap aku jalani. Seperti yang selalu aku bilang kepada diriku sendiri, “Aku sudah berkorban untuk meninggalkan rumahku dan itu adalah hal yang menyakitkan, maka aku harus membalas pengorbananku ini dengan hal yang hebat”. Salam perantauan!

Comments