#3 My First Job Interview Experience

     Helo, guys. Meet me, again. Today I wanna tell your the last chapter of my first job interview experience. Finally, I’ve done. For you who haven't read the first chapter and second chapter, you can click this for the 1st and this for the 2nd.  Keep scrolling ya!

     Aku masuk ke dalam ruangan interview. Ruangan itu tidak terlalu besar, mungkin hanya berukuran sekitar 5 m x 8 m. Di sebelah kanan pintu terdapat sebuah kursi, kursi untuk kandidat yang diwawancarai. Kemudian di sebelah kanan kursi itu terdapat sebuah meja yang dibalik meja tersebut duduk seorang laki-laki muda berwajah artis korea. Di depan kursi terdapat satu buah kursi lain, kursi yang lebih empuk dan nyaman, di kursi itu lah wanita tua itu duduk. Di belakang kursi wanita tua itu terdapat sebuah meja yang dibaliknya duduk seorang laki-laki tua dengan rambut yang hampir seluruhnya berwarna putih.
     “Ardilah?” tanya seorang laki-laki tua sambil memandang ke arahku.
     “Iya, Pak” jawabku sambil tersenyum.
   “Silakan duduk” ucapnya sambil merentangkan tangannya menunjukan tempat dudukku. Aku refleks menjabat tangan dua laki-laki yang berada di dalam ruangan tersebut. Kemudian memposisikan diriku di tempat duduk yang telah disediakan. Disusul wanita tua yang masuk ke ruangan dan duduk di kursinya.
     “Ardilah ya, biasanya di panggil apa?” tanyanya santai.
     “Dila, pak.” Jawabku singkat.
     “Baik Dila. Kami berterima kasih karena telah meluangkan waktu untuk dapat datang kesini. Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya dulu, saya Pak Wisnu selaku kepala bagian pelayanan disini, yang disana adalah Bapak Teuku selaku direktur, dan yang di depan saya ini adalah Ibu Yaya selaku kepala bagian keperawatan.” Jelasnya singkat.
     “Iya, pak” jawabku dengan lirih sambil menanggukan kepalaku.
     “Kamu selama ini naik motor sendiri?”
     “Iya, pak”
     “Punya SIM nggak?”
     “Punya”
     “Kamu lulus tahun berapa?”
     “Tahun 2014”
     “Bulan?”
     “September”
     “Oke, kamu lulus bulan September. Setelah itu kamu ngapain aja?”
    “Kemarin saya sempat bekerja selama dua bulan di Yayasan Home Care. Tapi setelah itu saya fokus ke Uji Kompetensi. Setelah Uji Kompetensi, kegiatan saya hanya belajar, seperti meningkatkan kemampuan bahasa Inggris saya”
     “Selama ini kamu melamar di mana saja?”
     “Saya melamar di beberapa klinik dan satu sekolah”
     “Hah? Sekolah? Sekolah mana?” wajah Pak Wisnu memperlihatkan suatu bentuk keheranan.
     “SMK Keselamatan” jawabku tenang.
     “Kamu kenapa nggak melamar di rumah sakit?” tanya Pak Wisnu dengan ekspresi penasaran.
    “Hmm karena saya mau cari pengalaman dulu. Kalau di rumah sakit kan kerjanya harus maksimal, jadi saya mau mencoba di tempat lain dulu” jawabku terbata-bata.
     “Terus kamu kalau disini nggak maksimal?” tembak Pak Wisnu.
     “Maksud saya tanggung jawabnya sangat besar disana” balasku, mencoba memperbaiki kata-kataku.
     “Disini kerjanya dibagi dalam tiga shift. Kamu yakin dibolehin sama orang tua kamu?”
     “Iya, dibolehin. Karena kemarin juga waktu saya home care, sistem kerjanya juga begitu.”
     “Oke cukup” ucap Pak Wisnu. “Silakan bu Yaya” lanjut Pak Wisnu sambil menatap ke arah bu Yaya.
    “Oke baik Dila. Disini saya ada beberapa pertanyaan ya” bu Yaya sambil membuka catatan yang diletakan di pangkuannya, tangan kanannya memegang sebuah pencil. 
     “Iya, bu” jawabku sambil menganggukan kepala.
     “Kamu anak keberapa?”
     “Keempat, bu”
     “Dari berapa bersaudara”
     “Dari empat bersaudara”
    “Oke baik empat ya. Jadi sebelum ini kamu pernah homecare. Tindakan apa aja yang sudah pernah kamu lakukan selama home care?”
     “Memandikan, memasang infus, memberi obat, ROM, memberi makan, vulva hygiene, kompres.”
     “Sudah pernah pasang infus ya, baik. Persiapan pasang infus itu apa aja?”
    “Persiapan alat, persiapan pasien, dan persiapan lingkungan. Alatnya itu sendiri yang disiapkan medicat, infus set, perlak, kapas alkohol, plaster, tourniquet, dan botol infus” jawabnya sambil mengingat-ingat karena sudah lebih dari empat bulan aku nggak melakukan tindakan tersebut.
     “Kamu pernah mengalami kesusahan nggak waktu pasang infus?”
     “Pernah”
     “Itu kenapa? Apa karena nggak ketemu venanya atau gimana?”
     “Itu karena dari pasiennya sendiri yang tangannya ngeras, tegang waktu di pasang infus”
     “Pasiennya nggak mau atau nggak fokus karena pasiennya ganteng” celetuk Pak Wisnu.
    “Oh jadi dari pasiennya yang nggak mau. Baik, kalau gitu saya mau nanya soal memandikan. Memandikan ini adalah kemampuan kita yang paling dasar ya. Nah coba kamu jelaskan bagaimana caranya memandikan” tanya bu Yaya.
    “Baik. Pertama pasti kita mempersiapkan alat, pasien, dan lingkungan. Kemudian kita mencuci tangan dan menggunakan handscoon. Setelah itu kita posisi kan pasien. Lalu pertama-tama kita membersihkan kepala. Sebelumnya kita pasang dulu handuk di bawah kepala pasien. Lalu..” 
   “Oke cukup.” Potong bu Yaya. “Bagus. Kamu tau nggak bedanya memandikan jenazah sama memandikan pasien?” lanjutnya.
     “Kalau memandikan pasien itu kita menggunakan ilmu, kita pakai seni dan komunikasi terapeutik. Kalau memandikan jenazah itu sesuai dengan adat masing-masing” jawabku asal.
     “Oke, maksud saya begini. Bedanya memandikan jenazah dengan memandikan pasien itu bagaimana?” tanyanya gemas. “Kamu pernah memandikan jenazah nggak?” lanjutnya.
     “Nggak pernah. Biasanya di rumah sakit langsung di ikat” jawabku jujur.
   “Baik, kalau memandikan pasien itu kita ada aturannya memandikan dari kepala ke bawah. Kalau memandikan jenazah kita nggak pake aturan itu” Ibu Yaya menjelaskanku secara perlahan-lahan.
     “Kasian banget ya langsung ikat” celetuk dari Pak Teuku.
    “Di klinik ini kita berfokus sama perawatan stroke, dan kebanyakan pasien kita itu adalah pasien dengan stroke. Ada pasien dengan kelemahan di satu sisi, tidak bisa berbicara, susah menelan, kita mau memasang sonde. Nah coba kamu jelaskan” bu Yaya kembali bertanya kepadaku.
   “Pertama kita persiapkan alat, lingkungan, dan pasien. Kemudian kita mencuci tangan, memposisikan pasien...”
     “Perlu inform concent nggak?” potong bu Yaya lagi.
   “Perlu..” jawabku. “Setelah itu kita memakai satu sarung tangan steril, dan meletakkan jeli di atasnya. Kemudian kita memakai sarung tangan satu lagi...” lanjutku.
   “Baik cukup” lagi-lagi bu Yaya memotong kalimatku. “Cara kamu menghitung panjang selang yang dimasukan bagaimana?” lanjutnya.
    “Caranya kita ukur dari hidung lalu ke kuping, kemudian dari hidung kita ukur ke px” jawabku dengan mantap.
    “Oke. Ini sonde sudah masuk. Sekarang cara kamu mengecek bahwa sonde itu sudah benar masuk ke lambung bagaimana?”
    “Ada tiga cara. Yang pertama kita liat apa ada cairan lambung yang keluar atau tidak. Yang kedua kita letakan ujung selang ke dalam mangkung berisi air, apabila air itu tidak bergelembung artinya masuk ke lambung. Yang ketiga, kita masukan udara ke dalam selang menggunakan spuit, sambil mendengarkan di area lambung menggunakan stetoskop, apabila terdapat suara angin yang berhembus berarti selang masuk ke lambung” jelasku dengan menggebu-gebu seolah-olah hal itu sudah kukuasai dengan baik.
    “Baik jadi ada tiga itu ya, dan kalau sudah yakin masuk lambung baru kita pasang plesternya” balasnya. “Kemudian ada pasien lagi nih mau di pasang kateter, gimana cara masangnya?”
   “Seperti biasa kita siapkan alat, lingkungan dan pasien. Kemudian kita mencuci tangan. Memposisikan pasien, jika wanita maka kita menggunakan posisi dorsal recumbent, jika laki-laki maka kita menggunakan posisi supinasi. Setelah itu kita lakukan vulva hygiene...”
   “Cukup” potongnya Bu Yaya sekali lagi. “Saat kateter sudah masuk. Berapa banyak air yang kamu masukan?” lanjutnya bertanya.
    “Sekitar 20 sampai 30 cc”
    “Kamu tau darimana kalau yang dimasukan itu segitu?”
    “Sebenarnya setiap kateter beda-beda ukurannya. Kita bisa liat tulisan yang ada di kateter itu sendiri”
   “Iya bener. Jadi nggak tentu 20 sampai 30 cc yang dimasukin. Kita bisa lihat di ujung kateternya. Terus kalau ini pasiennya nggak bisa kencing. Boleh nggak sih langsung kita keluarkan urinnya langsung semuanya?”
     “Nggak boleh, karena nanti kandung kemihnya langsung kosong” jawabku dengan ragu-ragu.
   “Iya benar. Nanti kalau dikeluarkan semua bisa kolaps. Makanya kita keluarkan sedikit demi sedikit dengan di klem”
     “Di luar pendidikan non formal, kamu pernah ikut pelatihan apa aja?”
     “BTCLS”
     “Tahun berapa?”
     “2014. Setahun yang lalu”
     “Coba kita tes ya. Semoga masih ingat”
     “Iya, bu” jawabku singkat.
     “Fraktur jenisnya ada apa aja?”
    “Ada fraktur terbuka, tertutup, komplit, inkomplit, komplikasi” aku mencoba mengingat-ingat beberapa jenis fraktur tanpa mementingkan klasifikasinya.
     “Dua indikasi apa pasien yang membutuhkan BHD?”
   “Hmm pasien dengan penurunan kesadaran, dan pasien yang beresiko adanya sumbatan pernafasan” jawabku ragu-ragu. Terlalu banyak pertanyaan yang diberikan, belum lagi aku dikelilingi oleh tiga orang asing yang seolah-olah siap menerkamku, membuat aku merasa blank. Ah ya, apabila nadi karotis tidak teraba dalam sepuluh menit, jawabku dalam hati, menyesali kenapa baru ingat hal itu sekarang.
     “Iya kurang sedikit lagi. Kalau tanda-tanda syok apa saja?”
    “Penurunan kesadaran, tekanan darah memiliki selisih 20 antara sistole dan diastole, kekurangan cairan, yang saya ingat itu” jawabku jujur. Entah aku lupa atau blank.
   “Iya bradikardi, dan lain-lain. Oke mungkin cukup dari saya.” Ucap bu Yaya sambil menganggukkan kepalanya. Matanya kembali menyipit, menandakan beliau sedang tersenyum. “Silakan pak Teuku” ucapnya pada pak Teuku.
     Aku memperbaiki posisi dudukku yang tadinya lurus tegak ke depan menjadi lebih serong, menghadap ke Pak Teuku. Pak Teuku yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya, tiba-tiba terhenti, menunduk dan membuka-buka formulir yang sudah ku isi. Wajahnya yang sedikit tersenyum memperlihatkan lesung pipit yang terdapat di pipi kanannya.
     “Baik, Dila. Saya belum ketemu, belum kena, alasan kenapa kamu nggak melamar di rumah sakit? Padahal dari silsilah keluarga kamu, kayanya ini keluarga PNS dari Mama dan Kakakmu” tanyanya penasaran.
     “Iya karena saya pengen mencari pengalaman di luar rumah sakit dulu. Kalau di rumah sakit tanggung jawabnya besar” jawabku mencoba meyakinkan Pak Teuku. Tapi wajah Pak Teuku terlihat masih belum puas dengan jawabanku.
     “Pasiennya banyak gitu ya. Oke.Kakakmu yang PNS ini kerja dimana?”
     “Di Kalimantan Utara”
     “Hmm iya dibagian apa?”
     “Kalau itu saya kurang tau. Soalnya sudah jarang berhubungan lagi”
     “Loh sama kakak kok jarang berhubungan?” tanya Pak Teuku keheranan.
     “Iya soalnya dia di Kaltara jadi susah komunikasinya” jawabku santai.
    “Kalau kakakmu yang pertama ini kerja swasta di mana? Atau kamu jarang berhubungan juga?” tuduh Pak Teuku.
   “Enggak, kalau kakak yang pertama ada di rumah. Jadi masih sering komunikasi. Kalau kakak yang pertama ini kerja di Aroka”
    “Terus kakakmu yang ketiga, masih kuliah?” tanya Pak Teuku seperti orang kebingungan.
    “Iya masih ngambil S1 Manajemen”
    “Rencanamu dua tahun ke depan apa?” tanya Pak Teuku santai.
    Aku bingung harus menjawab apa. Aku tau ini adalah pertanyaan menjebak dan aku nggak terlatih untuk berbohong spontan. Aku terbiasa untuk berkata apa adanya. Akhirnya aku memutuskan untuk jujur. Aku menyinggung masalah kuliah. Aku tau ini bakal ngebuat mereka menolak aku, tapi aku nggak bisa bohong.
     “Untuk saat ini saya ingin mencari pengalaman di klinik Bulan apabila klinik bulan mau menunjang karir saya. Dan untuk dua tahun kedepan saya berencananya mau meningkatkan pendidikan saya. Karena sekarang ini D-III adalah tingkatan yang terendah dalam keperawatan” jelasku dengan wajah melas.
     “Oh mau kuliah. Oke cukup. Silakan, Pak Wisnu” penutupan singkat dari Pak Teuku. Ada ekspresi yang berbeda di wajahnya, antara wajah kecewa dengan bahagia. Detik itu juga aku merasa Pak Teuku seperti mendapatkan kartuku. Kartuku kenapa aku nggak melamar di rumah sakit. Aku merasa seperti orang yang ke gep mesum. Skak Mat!
   “Baik, Dila. Misalnya kamu disuruh dinas malam ini juga. Apa kamu siap?” tanya pak Wisnu sambil menatap kedua mataku.
     “Siap, Pak” jawabku tegas.
     “Dibolehin orang tua kamu nggak?” goda Pak Wisnu.
     “Boleh” jawabku santai.
    “Oke baik. Kalau memang kamu berjodoh untuk bergabung di klinik bulan ini, ibu Yaya selaku kepala bagian keperwatan akan menghubungi kamu. Dan menghubungi itu bisa kapan saja, dan kamu harus siap bergabung. Sekali lagi kami berterima kasih karena sudah meluangkan waktu untuk dapat hadir disini. Cukup sekian dari kami” ucap Pak Wisnu sambil merentangkan tangan bersiap untuk menjabat tanganku.
   “Iya, pak” jawabku sambil berdiri dan membalas jabatan tangan Pak Wisnu. Aku berbalik dan menyempatkan diri untuk menjawab tangan bu Yaya dan Pak Teuku sebelum aku keluar dari ruangan tersebut.
    Aku keluar. Berjalan ke arah pintu keluar. Aku melihat Mbak Loket yang berdiri menatapku, aku melemparkan senyum ke arahnya, ia pun membalas senyumku. Aku melanjutkan langkahku, pulang ke rumah. Apa pun hasilnya, you did your best, hiburku dalam hati. 
     Sudah 24 jam setelah interview. Nggak ada SMS yang masuk di handphoneku. Saat itu aku berpikir bahwa aku nggak boleh berharap lebih dari klinik itu, aku harus fokus ke persiapan kuliahku. Tapi tetap saja, hampir setiap jam aku mengecek layar handphone, berharap ada SMS yang bakal merubah hari-hariku yang membosankan ini.
     Keesokan harinya, pada sore hari. Lana tiba-tiba mengirimkanku BBM. Dia bertanya apa aku mendapat SMS dari klinik bulan. Awalnya aku kira dia penasaran, siapa yang dari kita bertiga diterima di klinik tersebut. Tapi ternyata Lana hanya memastikan dan sekaligus mengabari bahwa dia di SMS dan diterima untuk bekerja di klinik tersebut. 

That is my first job interview experience and I’m failed. I have no word to explain how it feels. In only a week, I broke up with my lovely man and I’m failed on my career. I feel so horrible. My love life and my career suck.
Jodoh dan rezeki. Kita nggak pernah tau apa mereka (jodoh dan rezeki) itu ditakdirkan untuk kita. Tapi yang harus kita yakini adalah, jika mereka memang dijohokan untuk kita, maka mereka akan menjadi milik kita. Dan saat kita gagal mendapatkannya. Percayalah bahwa Dia sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik untuk kita.
NB. Rabu, 18 Februari 2015, Bu Yaya menelponku untuk datang ke Klinik Bulan untuk panggilan kerja. Jumat, 20 Februari 2015, aku mulai bekerja di Klinik Bulan. Semua nama perusahaan dan pemeran yang terdapat di cerita ini semua sudah disamarkan.

Comments