#2 My First Job Interview Experience

     Hallo. It’s me again. Do you still remember about my post which named #1 My First Job Interview Experience? Do you want to know what happened next? Are you really really want to know? If you really want to know, you have to keep scrolling this page. Enjoy!

     Aku duduk sendirian di kursi seberang loket pendaftaran. Itu adalah tempat yang cukup besar untuk ukuran sebuah klinik yang di bangun menyerupai ruko, terdapat apotek dan beberapa ruangan dengan pintu berwarna putih. Di ruangan itu hanya ada aku, Mbak loket, dan beberapa pegawai apotek yang tengah duduk-duduk di ruangannya. Aku melirik ke arah jam besar yang terdapat di dinding sebelah kananku. Sudah jam sembilan kurang lima menit, tapi nggak ada orang lain yang datang, apa aku satu-satunya orang yang dipanggil hari ini, tanyaku dalam hati.
     Aku mengisi formulir yang diberi oleh Mbak Loket. Memperhatikan setiap kata dan pertanyaan yang ada, mencoba meminimalkan kesalahan yang ada. Tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki yang aku kenal mendekatiku, Lana. Lana adalah salah satu teman kuliahku saat di kampus dulu.
     “Kamu ngapain?” tanyanya dari kejauhan dengan nada suara yang hampir tidak terdengar. Ia terus melangkah mendekatiku.
     Aku menunjuk ke arah loket dan formulir yang sedang ku isi. Beraharap Lana akan mengerti isyaratku. Mendadak ia berbelok, berjalan ke arah Mbak Loket. Ia berbicara kepada Mbak Loket tersebut, entah apa yang mereka bicarakan, aku nggak bisa mendengarnya, tapi aku melihat Mbak Loket memberikan formulir yang sama seperti yang aku dapatkan. Ah ternyata dia juga interview, pikirku.
     “Kamu interview, Lana?” tanyaku saat Lana sudah duduk tepat di sebelahku. Memastikan bahwa dugaanku benar.
      “Iya” jawabnya, sambil mengangguk. “Kamu juga?” tanyanya balik sambil menoleh ke arahku.
    “Iya. Kamu sudah berapa lama ngantar lamaran?” tanyaku santai sambil sesekali aku memperhatikan formulir yang sudah aku isi, memastikan bahwa isi formulir tersebut hampir sempurna.
     “Dua hari yang lalu?” jawabnya.
    Aku terdiam. Ekspresiku mendadak berubah seperti orang yang sedang keheranan. Aku melihat ke arahnya. “Dua hari? Seriusan dua hari udah di panggil? Aku loh dua bulan baru di panggil sekarang.”
     "Iya betulan dua hari yang lalu. Coba aja kamu tanyain sama mas-nya yang nerima lamaranku, baru dua hari aku ngantar. Ya anggap aja sehari lah, besoknya langsung dapat SMS buat panggilan interview hari ini.” Jelasnya. Ia mencoba meyakinkanku.
     Aku terdiam. ‘Kenapa lamaranku lama banget baru dipanggil sedangkan Lana baru dua hari tapi sudah dapat panggilan? Aku bahkan mendengar kalau mereka baru aja menerima pegawai baru dua hari yang lalu. Kenapa aku nggak dipanggil lebih cepat? Kenapa mereka mengabaikan lamaranku?‘ tanyaku dalam hati. Aku berdiri dari tempat dudukku, berjalan ke arah Mbak Loket dan menyerahkan formulir yang sudah selesai kuisi.
     “Oh sudah selesai ya Mbak? Di tunggu aja ya” ucap Mbak Loket sambil mengembangkan senyumnya.
   Aku kembali ke kursiku, memposisikan diriku senyaman mungkin sambil mengobrol dengan Lana sesekali. Seorang laki-laki megenakan kemeja kotak-kotak yang disepadankan dengan celana kain hitam memasuki ruangan, Fahmi. Teman sekampusku lagi. Fahmi tersenyum ke arah aku dan Lana sambil menganggukan kepalanya. Aku dan Lana pun membalas senyumnya. Ia berjalan ke arah Mbak Loket, berbicara kepada Mbak Loket, tiba-tiba Mbak Loket berkata, “Maaf mas formulirnya habis. Tunggu sebentar ya.”
     “Iya Mbak” ucap Fahmi. Kemudian dia berputar, berjalan ke arahku dan Lana. Ia meletakkan tasnya dan duduk di sebelah Lana. “Loh kalian interview kah?” tanya Fahmi sambil memandang ke arahku dan Lana.
     “Iya” jawab Lana singkat. “Kamu juga kah mi?” sambungnya.
     “Iya ini.” Jawabnya singkat sambil meraih handphone yang ia masukan ke kantong celananya.
     “Berat saingan kita mi” ucap Lana sambil melirik ke arahku, bercanda. 
   Kami mengobrol bertiga sambil sesekali memperhatikan lingkungan sekitar, memastikan tidak ada kandidat lain yang akan di interview selain kita bertiga. Seorang wanita tua berumur 40 tahunan datang ke arah kami, beliau berhenti tepat di depan Fahmi. Beliau mengenakan topi suster berwarna putih dengan baju coklat yang bercorak batik, dipadukan dengan celana kain berwarna putih, masker berwarna hijau terpasang di wajahnya, perawat sepertinya.
     “Ini Denny ya?” tebaknya sambil menunjuk ke arah Fahmi.
     “Bukan bu, saya Fahmi.” jawab Fahmi dengan tenang.
    “Oh iya Fahmi” ujarnya sambil menganggukkan kepalanya sedikit. “Yang ini Lana?” tebaknya sekali lagi, kali ini beliau menunjuk ke arah Lana.
     “Iya bu” jawab Lana singkat sambil menganggukan kepalanya.
     “Yang ini .......” ucap beliau sambil menunjuk ke arahku. Beliau terlihat berusaha untuk mengingat sesuatu.
     “Ardilah, bu” jawabku pelan.
     “Yang ini .... “ ulang beliau. Seolah-olah beliau tidak mendengar jawabanku tadi.
     “Ardilah, bu” jawabku sekali lagi. Dan kali ini dengan suara yang lebih keras.
   “Oh iya Ardilah” beliau menganggukan kepalanya. “Tunggu sebentar ya” ucapnya pada kami bertiga, matanya menyipit seolah-olah meninggalkan kesan bahwa beliau sedang tersenyum.
    “Iya bu” jawab kami bertiga sambil menganggukan kepala dan tersenyum.
   Beliau kemudian masuk ke dalam ruangan yang terletak di sebelah loket pendaftaran. Beberapa menit kemudian, seorang laki-laki tua yang mengenakan kacamata dengan pakaian yang tampak santai masuk ke dalam ruangan yang sama. Laki-laki tua itu terlihat lebih tua dari wanita tua yang berbicara kepada kami tadi, warna rambutnya yang didominasi dengan warna putih membuat beliau terlihat berumur 50 – 60 tahun. Pasti itu dokternya, tebakku.
     “Itu siapa, Dil?” tanya Lana penasaran sambil melirik ke arah laki-laki tua itu.
     “Nggak tau. Dokter deh kayanya” tebakku, sok tau.
   Tidak lama setelah itu, laki-laki lain yang lebih muda masuk ke ruangan yang sama yang telah di dimasuki oleh laki-laki dan wanita tua tadi. Laki-laki muda itu memiliki wajah yang oriental, ia memiliki kulit yang berwarna putih dan terlihat berseri-seri. Kaya artis korea aja, pasti dokter muda, tebakku sekali lagi.
     “Siapa lagi itu, Dil?” tanya Lana sekali lagi padaku.
     “Nggak tau Lan. Kaya dokter muda deh. Ganteng, Lan” ucapku sambil tertawa.
   Kami masih menunggu. Sekitar lima belas menit kemudian. Wanita tua keluar dari ruangan itu, beliau membawa dua bundel formulir. Satu milikku dan satu milik Lana. Ah mungkin beliau ingin memanggilku, tebakku.
     “Pasti kamu duluan yang dipanggil ini, Dil” bisik Lana kepadaku. Aku hanya tersenyum.
   “Lana” panggil wanita tua itu sambil tersenyum ke arah Lana. Lana menoleh ke arah wanita tua itu. “Silakan” sambungnya sambil merentangkan tangannya menunjukan ruangan interview, ruangan yang dimasuki oleh wanita tua dan dua laki-laki tadi. Lana pun berdiri dan menghampirinya, dengan langkah yang mantap, Lana masuk ke dalam ruang interview. Wanita tua itu pun menyusul Lana dari belakang.
    Aku terdiam. Terpaku sambil menatap pintu yang mulai ditutup dari dalam. Aku terheran. Kenapa Lana yang dipanggil duluan. Berkasku lebih lama dari Lana, aku pun datang dan menyelesaikan formulirku lebih dulu daripada Lana. Ah mungkin Ibunya nggak tau kalau aku datang dan menyelesaikan formulirku lebih dulu, setelah ini pasti aku yang dipanggil, aku mencoba menghibur diri. Sekarang tinggal aku dan Fahmi yang duduk di kursi panjang tersebut.
     Kurang dari lima menit kemudian, wanita tua itu keluar kembali. Beliau membawa satu bundel formulir. Beliau berjalan dua langkah dari pintu.
    “Fahmi” panggilnya. Fahmi menoleh ke arah wanita tua itu. Wanita tua itu merentangkan tangannya, beliau memberi satu bundel formulir kepada Fahmi yang tadi kehabisan formulir. Fahmi berdiri, berjalan mendekati wanita tua itu dan mengambil formulir yang ada di tangan beliau. “Di isi ya” lanjut beliau sambil membalikkan badan dan kembali masuk ke dalam ruangan.
     Fahmi kembali duduk, mencoba mencari posisi yang nyaman. Ia mulai mengisi formulir tersebut sambil berbicara denganku. Sesekali aku menundukkan kepalaku, memfokuskan mataku untuk melihat ke arah satu titik, dan berusaha untuk mencoba mendengarkan suara demi suara yang sedikit terdengar dari ruang interview. Aku bisa mendengar suara mereka, tapi aku tidak bisa menerjemahkan apa yang mereka bicarakan, suara itu terlalu tidak jelas. Beberapa menit setelahnya, Fahmi telah menyelesaikan pengisian formulirnya dan menyerahkannya ke Mbak Loket.
     Hampir tiga puluh menit kemudian, Lana keluar dari ruangan tersebut. Aku menatapnya dengan tatapan penuh tanya. Lana meletakkan tasnya di kursi dan duduk di sebelah kananku. Ia menunjukkan wajah yang santai, tapi dari keringat yang muncul di dahinya, aku bisa menebak kalau dia tegang.
     “Gimana Lan tadi?” tanyaku penasaran.
    “Biasa aja kok. Tadi itu di dalam yang interview langsung tiga orang. Yang laki-laki tua itu dokter. Yang muda itu direkturnya. Yang perempuan itu perawat” jelasnya.
     “Terus kamu bisa? Kamu di tanyain apa aja?” tanyaku masih dengan wajah yang sangat ingin tahu.
    Tiba-tiba wanita tua itu kembali keluar dari ruang interview, melangkahkan kakinya maju dua langkah dari pintu. Aku memandang ke arahnya. Aku meyakini bahwa beliau akan memanggil namaku. Tapi ternyata..
    “Fahmi” panggilnya singkat sambil mempersilakan Fahmi untuk masuk ke dalam ruang interview. Fahmi pun berdiri dengan sigapnya dan berjalan dengan mantap ke arah ruang interview.
     Aku kembali terdiam. Kembali keheranan. Mencoba berpikir kenapa aku menjadi orang yang dipanggil terakhir. Ah mungkin karena hari ini Jumat, laki-laki harus bersiap untuk menjalani solat Jumat, makanya para laki-laki didahulukan, pikirku. Aku tetap berusaha berpikir positif terhadap perlakuan tidak adil perusahaan ini.
     “Aku tadi ditanyain banyak. Ada jenis-jenis fraktur. Pemasangan sonde. Tapi aku pesimis. Soalnya aku tadi ditanya, ‘kalau kamu lulus di semua perusahaan kamu bakal pilih yang mana?’, aku jawabnya ‘yang gajinya paling besar’” Lana menjawab pertanyaanku yang sempat terputus tadi.
     “Ah nggak apa-apa Lana. Kamu kan juga ada klinik incaran yang lain” godaku.
   “Iya juga sih. Yasudah aku pulang duluan ya. Banyak cucian” ucap Lana sambil memasang jaketnya. Ia pun pamit dan berjalan pulang.
    Aku duduk sendirian, gelisah. Menatap pintu ruang interview berwarna putih. Berharap ruangan itu segera terbuka dan aku segera dipanggil untuk menjalani interview. Dua puluh menit berlalu, Fahmi akhirnya keluar dari ruangan. Ia duduk disebelahku.
     “Gimana mi? Sukses?” tanyaku dengan tenang.
   “Ya biasalah. Tadi banyak ditanyain tentang stroke pokoknya. Eh aku pulang duluan lah” jawabnya singkat. Fahmi pamit dan berlalu.
    Tinggalah aku yang duduk termenung sendirian. Berkali-kali menatap ke arah jam dinding dan ke pintu ruangan interview secara bergantian. Lima menit kemudian, wanita tua itu keluar. Aku mengamati setiap gerak geriknya. Beliau melangkahkan kakinya dua langkah dari pintu ke arahku dan kemudian menatapku, lama.
  “Ardilah, silakan” ucapnya mempersilakanku untuk masuk ke dalam ruangan interview sambil mengembangkan senyumnya yang tertutup masker.
   Aku pun berdiri. Melangkahkan kaki ke arah ruangan interview sambil mengumpulkan keberanian. Here I am, ucapku dalam hati.

Oke fine. I’m getting tired. I think it’s enough for this chapter. Thank you for keep reading. See you in next chapter. I wish it would be the last chapter. Bye!

Comments