Disaat Bocah Samarinda Merantau di Surabaya

Sumber : https://www.google.com/
Nggak kerasa udah hampir 3 bulan aja aku merantau di kota Surabaya. Kota yang jauh berbeda dengan Samarinda. Tapi mau nggak mau, suka nggak suka, aku harus beradaptasi dengan kondisi yang ada di kota pahlawan ini. Banyak banget perbedaan yang kutemuin antara Surabaya - Samarinda. Dengan banyaknya perbedaan itu, aku harus berusaha menerima kondisi ini dengan apa adanya. Dan berikut ini kondisi-kondisi kota Surabaya yang jauh berbeda dengan Samarinda. 

1. Bahasa Jawa yang masih kental
Biar pun banyak perantauan disini, biar pun dikata kota besar, biar pun di anggap salah satu ibu kota terbesar di Indonesia, bahasa Jawa tetap kental di kota ini. Seolah-olah perbedaan budaya nggak menjadi masalah. Disini orang perantauan lah yang harus mengadaptasi bahasa kota ini.
Berbeda jauh dengan Samarinda yang semua ragam bahasa ada. Jawa? Ada. Kutai? Pasti. Banjar? Banyak. Bugis? Nggak usah ditanya. Meski pun kaya dengan bahasa, kebanyakan orang Samarinda kekeuh make bahasa Indonesia. Hidup bahasa Indonesia Raya~ 
2. TV yang mayoritasnya masih menggunakan antena
Salah satu yang bikin aku heran adalah, ini kota besar, tapi kenapa kebanyakan rumah bahkan toko-toko masih menggunakan antena. Sedangkan sebagian besar rumah di Samarinda sudah menggunakan TV kabel sebagai penunjang televisnya. Aku jadi bertanya-tanya. Apa mereka nggak tertarik nonton HBO? Apa mereka nggak keganggu sama semut-semut kecil yang berkerubung di TV? Entahlah hanya mereka yang tau.
3. Pengendara motor yang nggak nyantai
Nyadar atau enggak, pengendara motor di Surabaya ini pada nggak nyantai semua. Rata-rata berkendara sekitar 60 km/jam. Orang-orang disini naik motornya mah udah kaya ngejar maling. Coba aja naik motor dengan kecepatan rendah, yakinlah udah pada di klaksonin. Beda dengan di Samarinda yang dengan kecepatan 40 km/jam aja udah kerasa laju banget.
Belum lagi disini mereka suka banget bikin pagar. Yang dimaksud pagar disini adalah. Hmm jadi begini, di setiap lampu merah ada peraturan yang sekiranya begini, “Nggak boleh lewat dari garis putih”. Nah disini itu pengendara motornya agak lucu, mereka suka ngelewati batas putih bahkan ngelewatinnya udah kelewat banget, nggak bisa dijelasin deh.
sumber : http://cdn-2.tstatic.net/
4. Lampu jalan yang menggunakan cahaya sephia
Jangan heran kalau berjalan pada malam hari di kota Surabaya ini membuat kita seolah-olah sedang berada dalam video klip. Bagaimana tidak? Karena hampir di setiap jalanannya, kota Surabaya di terangi dengan lampu kuning yang menciptakan efek sephia yang membuat kita seolah-olah lagi berada dalam sebuah video clip. Lagi-lagi berbeda dengan kota Samarinda yang diterangi dengan lampu putih yang membuat jalanan terang benderang nan indah.
sumber : http://images.world66.com/
5. Rumah tua yang masih kok berdiri
Kota yang dijuluki kota Pahlawan ini didominasi dengan bangunan-bangunan tua yang masih berdiri kokoh. Baik bangunan kantor, mau pun perumahannya. Walau pun nggak sedikit pula perumahan-perumahan mewah dengan arsitektur yang modern. Tapi tetap saja, bangunan tua mendominasi kota ini. 
Dan ini lah beberapa perbedaan yang kutemukan di kota Surabaya. Sebenarnya masih banyak lagi, tapi karena keterbatasan waktu (baca : lagi banyak tugas), jadi mungkin bakal aku ceritakan di lain kesempatan. See yaa~

Comments

  1. Nah baru tau Dil, di Surabaya masih banyak antenna gitu. Emang lebih murah kali ya dibanding Indovision atau yang sejenis.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya wid, kayanya emang karena lebih simple dan murah. Banyak sih kaya indihome gitu, tapi kayanya peminatnya masih kurang kalau disini.

      Delete
    2. kalau luh gak suka jawa,gak usah ke surabaya ,ini cuman daerah khusus orang jawa dan tionghoa

      Delete
    3. samarinda pemerintah nya selalu korupsi makanya gak maju,jauh tidak seperti surabaya yang tidak pernah korupsi,dan tegas,

      Delete
    4. Dear anak alim.
      Saya nggak pernah menyebutkan kalau saya nggak suka dengan pulau Jawa. Saya suka. Saya suka budayanya. Saya suka keindahan alamnya. Saya suka keramahtamahannya. Dan lagi pula, Bapak saya asli orang Surabaya. Hanya saja, sejak muda Bapak saya merantau ke Samarinda. Hingga saya dibesarkan di Samarinda. Tapi beberapa kali ketika libur sekolah, kami pasti berlibur untuk bersilaturahim dengan keluarga disini.
      Tentang pemerintahan, baik Samarinda mau pun Surabaya. Saya nggak akan berkomentar. Karena politik bukan bidang saya. Tapi sebagai pemuda, mari kita sama-sama menebar manfaat kepada orang lain sembari menciptakan generasi muda yang lebih baik.
      Terima kasih sudah membaca anak alim.

      Delete
  2. nasib saya benar benar sial, merantau ke bdg jadi bulan bulanan kejahatan org dan penolakan cewek..pdhl saya baik, jujur, dan suka menolong org. mungkin krna saya cupu dan loyo. terpaksa pulang kampung. di kampung saya nganggur dan jomblo berthn thn.. shg saya marah, tiba tiba bnyk bencana di indonesia.. krna alloh membela org bodoh dan lemah spt saya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe tetap semangat ya, mas. Jodoh dan rezeki nggak kemana.

      Delete

Post a Comment