Menengok Titik 21 Lumpur Lapindo Sidoarjo


Masih ingat dengan musibah lumpur panas yang membanjiri Sidoarjo? Berita yang pernah menjadi headline pada pertengah 2006 ini menyebar ke seluruh nusantara, disorot oleh seluruh media, dan dibicarakan oleh semua orang. Saat tragedi ini terjadi, saya masih kelas 6 SD. Ketika semua orang tua disibukkan dengan tayangan peristiwa ini, saya nggak merasa tergelitik sama sekali. Karena bagi saya, sekali pun saya tau kejadian ini tapi toh hal juga nggak akan masuk di soal ujian saya kelak. Tapi tetap saja, berita ini selalu terdengar di telinga setiap kali saya melewati layar kaca.

Lumpur Lapindo (Lula) atau Lumpur Sidoarjo (Lusi), begitu orang-orang biasa menyebut peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balangnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur ini. Tragedi yang ditetapkan sebagai bencana alam ini terjadi sejak 29 Mei 2006, tepat dua hari setelah gempa yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyebab peristiwa ini pun masih dalam perdebatan, sebagian ahli mengaitkan kejadian ini dengan gempa yang menimpa Yogyakarta, namun sebagian besar lainnya mempercayai bahwa kejadian ini merupakan akibat dari aktivitas pengeboran itu sendiri. Akibatnya, kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya tenggelam, puluhan ribu warga harus mengungsi, dan ribuan orang kehilangan pekerjaannya.

Bisa tebak berapa luas kawasan yang tenggelam karena lumpur panas ini? Sekitar ± 600 hektar, atau lebih. Could you imagine that? Kita bahkan bisa menyaingi Disney’s Animal Kingdom yang merupakan taman bermain dengan tema kebun binatang terbesar di dunia dengan tanah seluas ini. Tapi sayang, pada akhirnya tanah ini hanya menjadi pelampiasan bumi mengeluarkan isi perutnya, yang sesekali menjadi tempat rekreasi bagi warga sekitar.

Tahun 2015, masa awal kuliah di Surabaya, saya dan keempat teman saya berkesempatan untuk mengunjungi Lumpur Lapindo. Dengan menggunakan sepeda motor, kami berlima nekat ber’wisata’ ke tempat yang bersejarah ini. Lokasi Lumpur Lapindo sebenarnya cukup mudah dicapai, dari alun-alun Sidoarjo, kita cukup mengambil arah lurus ke selatan melalui Jalan Raya Larangan menuju Porong dan Kabupaten Malang, setelah itu kita akan menemukan sebuah tanggul yang sangat tinggi di sebelah kiri jalan.


Sesaat sebelum mencapai lokasi Lumpur Lapindo, bau gas belerang yang menyengat mulai tercium. Tak jarang bau yang sama terhirup ketika kami pergi ke kota lain saat melewati daerah ini. Konon katanya, bau gas belerang yang berasal dari lumpur lapindo dapat mencapai kejauhan 5 km, bahkan bisa lebih jauh lagi jika tertiup angin. Parahnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur pernah melakukan penelitian pada tahun 2008 – 2016, dan penelitian tersebut menyebutkan bahwa logam berat dan Polycylcic Aromatic Hydrocarbon (PAH) terkandung pada tanah, air, dan udara di sekitar tanggul Lumpur Lapindo hingga jauh di atas ambang batas yang diperbolehkan. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi masyarakat sekitar karena bisa memicu terjadinya kanker dan juga penyakit lain. Kebayang nggak sih gimana menderitanya masyarakat sekitar yang harus pasrah dengan alam yang begitu tidak sehat.

Balik ke cerita perjalanan kami. Sesampainya di Lumpur Lapindo, kami masuk ke sebuah jalur yang memungkinkan motor untuk naik ke atas tanggul. Kami hanya perlu membayar parkir sekitar 5.000/motor, dan untuk memasuki daerah lumpur lapindo sendiri tidak dikenakan tarif apa pun. 

Kami berdiri tepat disebrang titik 21, terlihat sebagian besar lumpur yang mulai mengering membentuk tanah yang terpecah belah, sementara sebagian kecil lainnya tampak basah. Ini pengalaman pertama kali bagi saya melihat bencana alam yang sesungguhnya, selain banjir tentu. Meski titik 21 di kelilingi oleh lumpur yang telah mengering, tapi tetap saja rasa takut membayangi saya. Saya berpikir bahwa lumpur ini bisa saja berubah menjadi basah dan menghisap orang-orang yang berada di atasnya, seperti lumpur hidup di film-film kebanyakan. Oke, mari berhenti berimajinasi.

Meski dengan rasa ragu-ragu, saya tetap melangkahkan kaki ke atas lumpur kering itu. Dari tempat kami berdiri, tampak semburan lumpur panas yang masih menguapkan asap putih pekat dari kejauhan. Sementara itu, di sekeliling kami terdapat 110 patung berbentuk setengah badan manusia yang dilumuri lumpur sedang berbaris dengan tangan menengadah dan memegang peralatan rumah tangga. Namun siapa sangka bahwa ternyata patung-patung itu dahulunya setinggi 2 meter, berdiri kokoh dari kaki hingga kepala. Sayangnya, sebagian tubuh patung-patung ini turut tenggelam akibat lumpur lapindo yang masih meninggi.

Cukup 110 patung saja yang tenggelam, cinta kita jangan.
Kabarnya, 110 patung ini dibuat oleh seorang seniman bernama Dadang Christanto untuk ‘memeriahkan’ peringatan 8 tahun peristiwa Lumpur Sidoarjo. Dadang Christanto mengatakan bahwa patung yang berbaris menggambarkan korban lumpur yang kehidupannya dahulu sangat bermasyarakat, namun kini tercerai-berai. Sementara, tangan yang menengadah ke atas bermakna berkabungnya korban lumpur Lapindo atas bencana yang terjadi. Sedangkan peralatan rumah tangga yang dipegang menunjukkan barang-barang dan rumah korban yang telah tenggelam. Makna yang sangat dalam sebenarnya, tapi entah apa lebih dalam dari rasa cintaku kepadamu. Eaa. Fokus. Fokus.

Tak jauh dari 110 patung yang berbaris, kami menemukan sebuah ogoh-ogoh setinggi 4,5 meter dan selebar 2,5 meter menyerupai bos dari PT Lapindo yakni Abu Rizal Bakrie dengan baju kuningnya. Katanya, ogoh-ogoh ini dibuat spesial untuk memeringati 9 tahun lumpur lapindo. Bahkan sebelum ditelakkan di titik 21, ogoh-ogoh ini sempat diarak puluhan warga korban lumpur dari Pasar Porong Lama menuju tanggul lumpur. Kalau di pikir-pikir, niat sekali ya warga-warga di tempat ini.

Foto sama ogoh-ogoh pak ARB dulu, siapa tau besok-besok kecipratan warisannya.
Matahari mulai terbenam ketika kami melakukan sesi pemotretan di segala sudut tempat ini. Sejauh mata memandang, tempat ini bukanlah lokasi yang cukup pantas untuk dijadikan sebuah wisata. Tapi bolehlah berkunjung jika hanya ingin tau atau ingin mencari tempat baru untuk berfoto.

Ada satu pengalaman kurang enak yang saya alami di perjalanan ini. Kala itu langit mulai menggelap, kami memutuskan untuk singgah ke mushola yang persis terletak di depan tanggul Lumpur Lapindo untuk melaksanakan shalat Magrib. Sialnya, perut saya tiba-tiba terasa nggak bersahabat. I feel like cepirit. Sayangnya, wc yang terdapat di mushola ini nggak memiliki lampu sama sekali, kondisinya pun tampak agak kurang terawat. Sama-sama taulah ya, kalau cepirit membutuhkan waktu sedikit agak lama di wc dan rasanya agak kurang melegakan kalau harus memaksakan diri untuk berada di tempat yang nggak nyaman, belum lagi saya suka membayangkan hal yang enggak-enggak kalau berada di tempat gelap. Alhasil saya pun pergi duluan untuk mencari mushola lain yang fasilitasnya lebih memadai. Pesan utama yang terkandung dalam paragraf ini adalah pastikan kalian memakan makanan yang sehat sebelum bepergian dan hindari makanan yang mungkin bisa menyebabkan kecepirit. Sekian pesan kesehatan hari ini.

Kini, 12 tahun sudah sejak awal mula semburan Lumpur Lapindo terjadi. Selama ini pula semburan lumpur Lapindo tak kunjung berhenti, seolah tak mau mati. Semoga saja kedepannya semburan ini lelah dan memutuskan untuk menghentikan aktivitasnya. Dan terlebih, semoga bencana ini kelak tidak akan menyebabkan bencana besar lainnya bagi masyarakat sekitar.

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman sekalian untuk bersama-sama menjaga kelestarian alam. Boleh saja kita mengejar kekayaan yang berada di dalamnya, tapi kita juga tak boleh lupa untuk tetap menjaga keseimbangannya. Bak rantai yang tak pernah putus, mari kita mencintai alam sebagai mana Tuhan telah mengasihimu dengan alam.

Comments

  1. Dulu waktu di Surabaya, belum sempat pergi ke sini, kasihan ya warga (termasuk kakak sepupu saya mengungsi karena rumahnya terendam lumpur). Betul, jangan mengejar kekayaan tetapi menghancurkan alam.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya turut berduka ya mbak atas musibah yang dialami kakak sepupunya. Saya sendiri juga waktu kesana nggak bisa membayangkan bahwa apa yang ada di bawah saya - yang sudah tenggelam oleh lumpur - pernah menjadi pemukiman yang tentram.

      Delete
  2. Masih menyembur, berarti kemungkinan masih bisa lebih luas lagi area lumpurnya? Sedih juga kalau mengingat warga di sana yang terkena dampak Lumpur Lapindo

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, kemungkinan masih bisa meninggi. Untungnya tanggul bisa menghalangi lumpur yang bisa saja meluas. Saya juga nggak bisa ngabayang gimana rasanya jadi (mantan) warga disana :(

      Delete
  3. Masih terbayang saat2 pertama kali lumpur menyembur, saya pernah ke desa yang sekarang tertutup lumpur itu.
    saat itu lumpur masih belum terlalu luas, jalan tol malah masih beroperasi.

    Terakhir ke lapindo ini 4 tahun lalu dan merinding liat tanah kering kerontang dengan patung2 seperti itu.

    sedih dan memilukan, sambil was2 juga takut ada efek dari tanah yang menyembur keluar itu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, mbak. Saya yang melihat juga langsung merinding, membayangkan bahwa dulunya disana adalah sebuah perkampungan yang damai. Dimana anak-anak bermain dengan ceria, orang-orang dapat berkumpul dengan keluarganya, beristirahat dengan nyaman. Dan sekarang hancur lebur menjadi lumpur yang kering.
      Semoga saja tidak terjadi apa-apa lagi kedepannya.

      Delete

Post a Comment