Rapatkah Barisan atau Rapatkan Sajadah?

Waktu masih zaman sekolah, aku bukan anak yang dibiasakan atau terbiasa untuk shalat jamaah. Kesempatan aku untuk shalat jamaah hanya saat shalat tarawih, shalat ied, atau kalau ada jadwal shalat dzuhur berjamaah di sekolah. Selebihnya aku shalat sendiri atau nggak shalat sama sekali, maklum bocah. Jangan dicontoh.
Belajar dari lingkungan dan pengalaman yang minim dalam shalat berjamaah, aku belajar bahwa dalam shalat berjamaah harus membawa sajadah masing-masing. Aku juga nggak tau apa alasan dari membawa sajadah ini, hanya saja sejak dulu orang-orang selalu membawa sajadah setiap pergi shalat berjamaah. Jadi aku kira itu memang suatu keharusan, dan aku mengikutinya. Diam-diam aku pun sering bertanya dalam hati, apa gunanya tikar sajadah di dalam masjid jika kita masih harus membawa sajadah pribadi? Pernah sesekali aku mencoba untuk shalat di tikar sajadah masjid tanpa beralaskan sajadah pribadi, tapi ternyata rasanya memang agak keras dalam sempit. Ah mungkin orang-orang selalu membawa sejadah karena tikar sajadah di masjid itu terlalu keras dan sempit untuk mereka, simpulku sendiri. Ya walau pun nggak semua tikar sajadah di mesjid itu keras sih.
Setiap orang (mayoritas kaum hawa) selalu menenteng-nenteng sajadah setiap shalat berjamaah di masjid. Ya, dari dulu emang kaum hawa ini kayanya emang diciptakan untuk menjadi mahluk yang paling rempong. Sajadah yang dibawa pun beraneka ragam warna, ukuran, dan coraknya. Makin besar sajadah yang dibawa, justru makin bagus. Itu artinya kemungkinan untuk bersenggolan dengan jamaah lainnya semakin kecil. Karena sajadah dijadikan batas area kekuasan dari setiap jamaah. 
Saat aku beranjak ke dunia perkuliahan. Alhamdulillah, aku dikelilingi teman-teman yang baik imannya yang selalu saling mengingatkan untuk shalat. Emang bener ya, kalau kita bergaul dengan orang-orang yang sholeh maka kita pun bisa ikut-ikutan jadi orang yang sholeh, insyallah. Di Masjid As-Salam inilah aku belajar untuk memperbaiki diri dan persepsiku yang salah tentang agama.
Pernah suatu hari aku diajak seorang teman untuk shalat berjamaah di Masjid As-Salam. Di masjid ini, kami tidak membawa sajadah pribadi untuk shalat. Cukup memanfaatkan tikar sajadah di mesjid. Pada saat mendekati waktu shalat, kami merapikan shaf shalat. Disini aku sempat merasa aneh, karena orang-orang disini suka banget shalat mepet-mepet sampai nyentuh jamaah lain dan nggak mengikuti batas setiap tikar sajadah yang sudah disediakan. Tapi aku masih diam saja, dan mengikuti cara main para jamaah di masjid ini. Hingga ada saat dimana aku ingin shalat Dzuhur berjamaah. Aku mengambil barisan yang agak ujung agar bisa menjaga jarak dengan jamaah lain, supaya nggak dipepet-pepetin. Kemudian Mbak Andan, Kepala Unit Keperawatan yang mungil dan cantik jelita, yang kebetulan berdiri di sebelahku memanggil. “Dil, agak sini lagi. Kamu mau ikut berjamaah nggak?”. Aku pun speechless dan segera menggeser posisi lebih mendekati Mbak Andan. Oh jadi kalau mau jamaah emang harus pepet-pepet ya sama jamaah lain, ucapku diam-diam dalam hati.

***

Sajadah lebar. Sajadah yang dari dulu hingga sekarang makin marak digunakan oleh para Ibu-Ibu. Eit tapi bukan ibu-ibu aja loh, Bapak-Bapak juga ada. Sadajah lebar ini pun semakin memiliki banyak modifikasi, mulai dari yang biasa saja hingga yang sayang kalau di pakai. Namun ada salah satu dampak yang diberikan oleh penggunaan sajadah lebar ini yaitu membuat kerenggangan dalam shaf shalat berjamaah. 
Pernah nggak kalian merhatiin perintah imam setiap sebelum shalat untuk meluruskan dan merapatkan barisan? Pasti pernah dong. Dan sayangnya selama ini kita lakukan bukan merapatkan barisan, melainkan merapatkan sajadah. Satu orang untuk satu buah sajadah. Semakin lebar sajadah yang dipakai, maka semakin renggang pula shaf shalatnya, akibatnya perintah imam untuk meluruskan dan merapatkan barisan jarang bisa dipenuhi. Padahal salah satu syarat kesempurnaan shalat berjamaah adalah lurus dan rapatnya shaf loh. Selain itu kerenggangan dalam shaf shalat ini membuat syetan mudah masuk ke celah-celah shaf yang kosong, dan melancarkan aksinya untuk mengganggu kita dalam shalat. Hii. Emang yang namanya syetan ini mucil banget.
Tegakkanlah shaf-shaf kalian, sejajarkan antara bahu-bahu kalian, isilah celah yang longgar, lemah lembutlah terhadap saudara kalian, dan janganlah kalian biarkan celah bagi syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, nicaya Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan menyambungnya (akan menambah kebaikan dan memasukkannya dalam rahmat-Nya, yaitu surga-Nya) dan barangsiapa yang telah memutuskan shaf, niscaya Allah Ta’ala akan memutuskannya (tambahakan kebaikan).” HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim.
Lah terus shaf yang benar itu gimana sih? Shaf yang benar adalah shaf yang lurus kemudian rapat antara bahu kita dengan bahu orang di sebelah kita, dan kaki kita dengan kaki orang disebelah kita (sumber : klik). Terus sajadah lebarnya diapain dong kalau cuma bikin kerenggangan shat shalat? Menurut saya, sajadah lebar masih boleh digunain, asalkan sang pemilik sajadah ikhlas jika sajadahnya ikut dipakai diinjak oleh orang lain. Tapi kalau memang nggak rela, yasudah cukup simpan saja sajadahnya untuk digunakan di rumah dan sama-sama jamaah yang lain menggunakan tikar sajadah yang di sediakan di masjid.

sumber : https://jurnalsyukurku.files.wordpress.com/

Jadi, udah siap meluruskan dan merapatkan shaf shalat?

Comments