Poligami? Aku Mah Ogah!



Assalamualaikum. Lama tak jumpa, apa kabar saudara dan saudariku? Aku harap kalian baik-baik saja. Bagaimana sekolah, kuliah, dan kerjaannya? Aku harap kita semua bisa sukses. Amin. Pada hari ini saya akan membagi kisah saya dan pendapat saya tentang poligami. Mau tau? Kepo!
      Pagi itu sebelum kuliah, saya dan teman perempuan saya yang bernama Ita sarapan gorengan di kantin kampus kami. Kebetulan di kampus kami sebagian mahasiswanya punya kebiasaan makan gorengan atau mihun sebelum menjalani aktivitas kuliah. Di tengah perbincangan hangat kami, datang teman laki-laki kami bernama Jamal, atau yang biasa kami sebut Jems. Beliau ini merupakan lulusan sebuah pesantren di Jawa dan baru saja lengser dari jabatannya sebagai ketua IRMA di kampus kami.
      Di tengah sarapan kami dan hangatnya perbincangan pagi kami, tiba-tiba kami berbicara dengan topik poligami. Saat itu beliau berkata, “Poligami itu baik, saat ini rasio perempuan dan laki-laki  berbeda jauh, bayangkan saja rasio laki-laki dan perempuan adalah 1 : 8. Kalau 1 laki-laki menikahi 1 orang perempuan, maka kasian 7 orang perempuan lainnya yang juga ingin untuk menikah dan punya hak untuk mendapat keturunan.”
      Aku pun ngeyel, “Loh nggak bisa gitu dong, mal. Hargain dong perasaan perempuan.”
Jems pun mencoba mendoktrin saya, “Coba kamu bayangin jika kamu berada di posisi mereka, jika saya menikahi kamu,  apa kamu nggak kasian? Kalau memang kamu menyayangi, mengasihi dan menghargai  7 wanita lain itu, pasti kamu akan rela untuk di poligami. Sebagai wanita kamu nggak boleh egois.”
“Emang kamu bisa adil?” tanyaku.
“Insya Allah, saya bisa.” Jawab Jams.
“Emang kamu mau ngasih makan apa istri-istrimu?” tanyaku ngotot kepada Jems.
“Loh, jadi gini, aku lupa itu ayatnya gimana. Yang pasti artinya begini ‘Memangnya aku menyuruhmu memberi makan istri dan anakmu? Yang memberi makan kamu, istri, dan anakmu adalah aku, Tuhanmu’ jadi yang ngasih makan itu Allah.” Jawabnya dengan tenang dan lantang.
Tiba-tiba ada “panggilan” dari teman-teman di kelas yang menyebutkan bahwa dosen sudah masuk kelas, dan pembicaraan kami pada pagi hari itu pun terhenti. Sekilas kalau dipikir-pikir, memang pernyataan yang diungkapkan oleh Jems memang benar, setiap wanita punya hak yang sama untuk dicintai, setiap wanita punya hak yang sama untuk dinikahi, setiap wanita punya hak yang sama untuk memiliki anak. Namun selama kuliah saya berpikir dan berpikir, perempuan yang mana yang rela untuk dipoligami? Perempuan yang seperti apa yang membiarkan suaminya menikmati kasih sayang dari perempuan lain selain dirinya?
         Kemudian saya coba searching di Google tentang kisah poligami, dan 1 dari 2 artikel yang saya baca menyatakan bahwa seorang suami melakukan poligami jika istrinya tidak dapat membahagiakannya. Artikel yang lainnya menyatakan bahwa seorang istri dipoligami karena memang atas keinginan sang istri.
         Dalam islam, poligami memang diperbolehkan. Dengan syarat sang suami bisa adil kepada istri-istrinya. Tapi zaman sekarang, untuk adil dengan istri mungkinkah? Kalau saja sang suami adalah seorang Rasulullah, aku bisa percaya. Tapi kalau hanya makluk-Nya yang biasa-biasa saja, yang malah banyak dikuasai oleh hawa nafsu, mungkinkan mereka bersikap adil? Mungkin dalam hal materi, dalam kebutuhan lahiriah, suami dapat bersikap adil. Namun dalam hal kasih sayang, dalam kebutuhan batiniah, mungkinkah mereka bisa bersifat adil?
      Oke kalau tadi soal keadilan, maka sekarang saya akan berbicara tentang perasaan, terkhusus perasaan perempuan. Perempuan mana yang hatinya tak sakit bila dimadu? Perempuan mana yang hatinya tak pilu bila kasih sayang dari sang suami harus dibagi dua? Perempuan mana yang hatinya tak tercabik-cabik bila melihat lelakinya bermesraan dengan perempuan lain? Jangankan suami, ngeliat pacar bergandengan dengan wanita lain (atau selingkuhan) saja membuat jantung berdetak lebih cepat dan tubuh gemetar.
     Lantas, bagaimana  jika kamu berada di posisi 7 wanita lain yang tidak mendapatkan jodohnya? Saya percaya, setiap manusia diciptakan oleh Allah berpasang-pasangan. Entah pasangan berlawanan jenis atau dengan jenis yang sama. Tapi Insya Allah saya nggak bakal mau sama yang jenisnya sama, rugi. Hehe. Kembali ke leptop, jika saya menjadi 7 wanita lain yang tidak mendapatkan jodoh maka saya akan memilih untuk hidup sendiri, daripada saya harus mengganggu rumah tangga orang lain, daripada saya harus menghancurkan hati wanita lain. Bagaimana kalau dikatain ‘Perawan Tua’ oleh orang lain? Ah, nggak perlu dipikirin apa yang dibicarakan orang lain, toh kalau saya menikah dengan suami orang, saya juga akan dikatain ‘cewek gatel pengganggu rumah tangga orang’. Lalu apa yang akan kamu lakukan tanpa suami? Jika saya harus hidup tanpa suami, maka saya akan meraih pendidikan setinggi-tingginya, memetik karir seluas-luasnya, dan menulis sejarah sehebat-hebatnya. Tapi saya harap kalian tidak mendoakan saya untuk tidak dapat jodoh ya, kan pengen juga dimanja-manjain sama suami. Hehe.
      Kesimpulan dari pengalaman yang saya ambil disini, saya batal untuk mau menikah dengan salah satu dari para ustad, karena mereka pasti memiliki ilmu dan keyakinan tentang poligami. Dan karena hal tersebut, dapat menjadikan para ustad tersebut beresiko tinggi untuk melakukan poligami. Karena saya nggak mau dipoligami. Untuk itu, saya akan menikah dengan lelaki yang biasa saja, namun bisa menjadi imam yang baik untuk saya dan keluarga saya, tidak perlu ahli agama, yang penting paham agama. Dan yang terpenting, saya akan berusaha menjadi istri yang terbaik bagi suami saya, dan ibu yang terbaik bagi anak-anak saya, walau pun sekarang saya cuma bisa masak air, telur dan mie bungkus, walau pun sekarang saya suka bikin banjir rumah kalau ngepel, tapi saya akan berusaha untuk kalian, my future family. Hei, jodoh, semoga kamu baca ya! Hehe..
     Bagi kalian yang ingin share cerita tentang poligami atau yang ingin share pendapat tentang poligami, kalian bisa kirim tulisan ke comment box di bawah ini, atau bisa hubungi saya melalui twitter @dilafzy atau ID Line dengan ardilahsafitri. Terimakasih sudah membaca. Wassalamuaikum!

Comments