Capernaum (2018)


Zain Al Hajj, anak yang diperkirakan berusia 12 tahun itu, hadir di ruang persidangan sebagai terdakwa. 

“Kamu ditangkap pada 15 Juni dan telah menjalani hukuman sejak itu. Apa kamu tahu kenapa?” tanya hakim yang memimpin persidangan itu.

“Karena saya membunuh anjing dengan pisau.” Cetus Zain, memainkan jemarinya di dagu.

“Maksudmu menusuk seseorang?” tanya hakim, memperjelas jawaban Zain.

“Ya, dan dia itu anjing.” Jawab Zain, tegas.

“Kenapa kamu begitu terkenal? Di TV, di media, bahkan di penjara. Kamu ingin mengatakan sesuatu?”

“Iya,” Zain menganggukkan kepalanya.

“Apa?”

“Saya kecewa pada orang tua saya.” balas Zain, tanpa ragu. Ayahnya yang turut hadir di persidangan, menengok ke arahnya.

“Kecewa kenapa?”

“Karena melahirkan saya.”

Capernaum, drama Lebanon yang rilis pada tahun 2018, menceritakan tentang petualangan seorang bocah berani, bernama Zain. Zain terlahir dari orang tua yang miskin. Tidak mengenyam pendidikan, Zain menghabiskan masa kecilnya dengan bekerja, dan berjualan jus bersama adik-adiknya yang banyak. Suatu hari, adik kesayangannya, Sahar, dinikahkan paksa oleh orang tuanya dengan seorang lelaki dewasa pemilik kios sembako. Tak terima dengan pernikahan itu, Zain merencanakan untuk mengajak Sahar untuk kabur dari rumah. Pagi-pagi sekali, Zain menyuruh Sahar untuk bersiap, sementara Zain pergi ke terminal untuk memastikan biaya bus. Sekembalinya Zain ke rumah, ibu Zain sedang memaksa Sahar untuk pergi dari rumah bersama ayahnya, menuju rumah suaminya. Zain geram. Meski sudah berusaha menahan Sahar dengan sekuat tenaga, Sahar berhasil dibawa pergi oleh ayahnya. Dengan rasa kecewa di dada, Zain memutuskan pergi dari rumah.

Apakah yang terjadi pada Zain selanjutnya? Kemanakah Zain pergi? Dan siapakah yang Zain tusuk?

Zain bersama dengan Sahar.
Capernaum, film yang disutradarai oleh Nadine Labaki ini, memiliki arti berupa ‘kekacauan’. Dibekali dengan rating yang tinggi (sekitar 8,4/10 menurut IMDb), serta dihujani beragam komentar yang positif, membawa saya untuk menonton film ini. Dan berikut adalah ulusan saya mengenai film hits ini.

Dari segi visual, film ini tidak menghadirkan efek visual yang spesial dalam film ini. Namun, dibalik itu, film ini benar-benar berhasil membawakan gambaran kehidupan anak jalanan secara real. Selain itu, pengambilan gambar yang runtut, mampu memberikan kronologis cerita yang mudah dimengerti oleh penonton.

Dilihat dari sisi alur cerita, bagi saya, Capernaum agak sedikit membosankan. Mayoritas cerita dikuasai oleh konflik yang nggak ada habis-habisnya. Bukannya malah seru? Harusnya sih seru. Hanya saja, karena cerita yang dibuat tegang secara terus-menerus, ditambah nggak ada satu pun bagian yang menujukkan kebahagiaan, membuat saya agak sedikit merasa jemu dipertengahan film. Tapi, karena saya terlanjur penasaran dengan sosok yang disebut Zain sebagai ‘anjing’ di awal film, saya tetap menamatkannya sampai habis. But overall, this movie has a good story.


Ada satu hal yang membuat saya sangat terkesan pada film ini. Bayangkan saja, para pemain yang turut berperan dalam tayangan ini, adalah orang-orang yang non-professional. Para pemain ini yang diambil adalah orang-orang dengan kehidupan yang tak jauh dari karakternya di dalam film. Seperti Zain Al-Rafeea, yang berperan sebagai Zain, adalah seorang pengungsi Suriah. Sementara, Haita Izam, yang berperan sebagai Sahar, adalah seorang anak yang sehari-harinya berjualan permen karet dijalanan.

Kehadiran para pemain non-professional ini, menurut saya, benar-benar mampu membawakan gambaran hidup kemiskinan yang begitu nyata, dan menyentuh hati. Bahkan, saya tidak menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak terlatih, ketika saya menonton film ini. 

Nadine Labaki ketika mengarahkan Zain.
Hal lain lagi yang menarik datang dari sang sutradara. Nadine Labaki, yang mana dalam menggarap film ini, betul-betul melakukan penelusuran ke lapangan secara intensif untuk berbicara dengan anak-anak yang tinggal di penampungan, penjara anak-anak, dan bahkan kawasan kumuh. Menurut penelusurannya, banyak anak yang tidak mendapatkan kasih sayang setelah mereka lahir di dunia.

“There are millions and millions of children who live like this. It is a crime that we don’t do more for them.”

Dan, bak gayung bersambut, Capernaum mendapatkan penghargaan yang sesuai. Berkat totalitas dalam pembuatan, Capernaum menjadi salah satu jajaran film yang diputar di segmen Palme d’Or dalam Festival Film Cannes 2018, dan bahkan memenangi Jury Prize. Tidak hanya itu, film ini juga disambut dengan tepuk tangan yang berseru selama 15 menit. Wow, it’s amazing, isn’t it?

Kesimpulannya, film ini bagus banget sih. Film yang berhasil mengungkapkan hal-hal yang sebenarnya banyak terjadi di masyarakat, tanpa pernah terungkap. Dan, dengan konfliknya yang begitu berlika-liku, mengajarkan banyak hal tentang kemanusiaan. Tapi ada satu pesan yang paling menyentuh bagi saya, “Jangan berpikir untuk memiliki anak, jika memang tidak mampu membesarkannya”. So, I give 8/10 for this movie!


Selamat menonton, warm regards

Comments

  1. omg, pernah lihat potongan-potongan gambar dari adegan film ini, ketika si anak menuntut orang tuanya karena telah melahirkan dia. sumpah, pengen nonton bangettt.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kudu nonton banget, sih mbak. Ini film bener-bener nampar buat orang-orang yang nekat pengen punya anak, padahal nggak mampu buat ngebiayainnya.

      Yuk mbak, dicoba nonton.

      Delete

Post a Comment