Memeluk Bayangmu

Modifikasi dari Paula Bonet
Mataku menerawang jauh menuju senja itu. Hembusan angin dan suara gelombang mengisi ruang diantara kita. Hari itu, kamu genggam erat tanganku. Mata sendumu melihat dalam pada mataku, seolah-olah ingin mengatakan sebuah rahasia.
“Aku tau ini gila.” Ucapmu lirih.
Aku terdiam. Mataku membalas tatap matamu, mencoba menulusuri isi hatimu melalui pekat warna matamu.
“Tapi, kamu mau nggak jadi pacarku?” Tanyamu tegas, sambil menutupi pipimu yang mulai kemerahan.
“Aku tau kamu pernah menjalin hubungan sebelumnya dengan sahabatku. Tapi nggak ada salahnya kita mencoba.” Jelasmu.
Aku masih terdiam beberapa detik. Terus berusaha menulusuri gelap matamu. Menerka-nerka apakah kamu hanya sedang mengejekku. Lalu aku tertawa.
“Kok malah ketawa sih?” tanyamu heran, sambil melepaskan genggaman tanganmu.
Aku masih terus tertawa, bahkan semakin kencang.
“Kalau kamu nggak mau, bilang enggak. Jangan ketawa. Kamu pikir aku lawakan.” Omelmu sambil berdiri dan pergi meninggalkanku.
Aku bangkit sambil menyusuri jejakmu. Mencoba melengkapi tanganmu dengan tanganku. Meyembunyikan kebahagiaan nyata yang selama ini aku tunggu.

Semenjak senja itu, kehabagiaan begitu bersahabat denganku. Kamu terus saja berhasil membuatku jatuh cinta pada rambut jabrikmu, pada tawa renyahmu, pada senyum manismu, pada dahi lebarmu, pada tatapan sendumu, pada hidung mancungmu, pada genggamanmu, pada semua lukisan yang kamu buat untukku, pada setiap kekonyolanmu, dan pada caramu membuatku tertawa.

Aku masih ingat malam itu. Kita duduk berdua di bawah langit yang berhiaskan puluhan kembang api. Dua gelas teh dan sepiring nasi goreng hangat menemani kita kala itu. Jarum panjang pada jam tanganku menunjukkan pukul 00.00. Tak lama kemudian, suara sirine menambah keramaian pada malam itu. Aku menyenderkan kepalaku di bahumu sembari menikmati warna-warni langit yang tanpa jenuh memberikan keindahannya. Saat itu, kamu menyentuh kepalaku, membelai rambutku dengan lembut. Seandainya ku ungkapkan perasaanku malam itu, maka aku akan berkata bahwa berada di dekapmu adalah tempat ternyaman untukku yang tak ingin aku lepaskan. Namun malam itu kita berbicara dalam kesunyian, terhanyut dalam suasana yang menyajikan beribu keindahan.

Kamu nggak pernah memberikanku setangkai bunga, sebatang coklat atau sebait syair cinta. Tapi entah mengapa, kamu selalu saja berhasil membuatku bahagia. Namun sayang, semua keindahan ini tidak bertahan terlalu lama. Ada saat dimana kamu genggam erat tanganku, mencium lembut keningku, melingkarkan tangan mesramu di pinggangku, dan menikmati waktu berdua dibawah senja yang indah. Lalu kamu pergi, bergumul dengan dunia yang tidak pernah melibatkanku berhari-hari. Kamu terus berbuat seperti ini.

Kusimpan rasa sesal setiap kali memikirkanmu yang tak pernah memberiku kabar. Hingga aku tidak bisa memahami, mengapa aku bisa sesabar itu. Kamu terus saja menghilang, seolah-olah sengaja ingin membuatku merasa muak. Tapi tetap saja, aku terus jatuh cinta kepadamu. 

Tapi, kesetiaanku ternyata tidak mampu membuatmu untuk tetap tinggal. Pernahku memintamu untuk membiarku selalu berada di sisimu. Namun, akhirnya kamu memilih untuk tetap pergi, demi memuaskan hasrat berpetualangmu. Lalu waktu berhenti di situ. Membiarkanku yang terluka karena begitu mencintaimu. Mengapa hingga kini begitu sulit untuk menerima kenyataan bahwa kamu telah pergi?

Setiap tahun, senja selalu menemaniku berharap. Aku menatap jauh pada ombak yang sedang menari, menunggu hingga hitungan 60 menit. Memastikan bahwa kamu tidak akan pernah datang sambil bercumbu dengan rindu yang tak kunjung berakhir. Namun benar, kamu tidak akan pernah akan datang selama apa pun aku menunggu.

Berjalan di bawah bayang-bayangmu bukanlah hal yang menyenangkan. Selalu berada di dalam kegelapan, hingga tak tau dimana arah datangnya cahaya. Namun entah mengapa, aku merasa nyaman. Seolah enggan pergi menjauh. Membiarkan diri ini tenggelam ke dalam lautan kepedihan.

Tiga tahun tlah berlalu, aku masih menunggu di tempat yang sama saat kamu menyatakan cinta padaku. Samar-samar kudengar tawa yang begitu akrab denganku. Aku bergegas mencari sumber tawa itu dengan wajah bahagia. Rinduku berangsur pulih ketika aku melihat senyummu di depan mataku. Namun, ternyata kamu tak sendiri. Kamu menyebut memanggil namaku dengan santai, tidak semesra seperti dulu. Aku mengembangkan senyumku tapi entah mengapa hatiku rasanya seperti tersanyat begitu dalam.

Comments

  1. apa Kabar Dila Semoga Baik-Baik Aja Sehat Selalu,,,Semoga Apa Yang qm cita2kan Tercapai Salam Dari Mantan Terakhirmu Di Tingkat 2 A.H

    ReplyDelete

Post a Comment