Meet Yogyakarta (2) : Tempat Singgah

Jumat, 6 Desember 2019. Pagi itu saya dibangunkan oleh bising aktivitas yang menembus kapsul. Beberapa orang sibuk mengantri untuk mandi, sebagian yang lain ricuh mengepaki barang-barangnya, dan sisanya masih menarik diri di balik selimutnya. Saya memaksakan diri untuk keluar dari kapsul dan ikut dalam antrian mandi.

Saya baru saja selesai bersiap, ketika Denny, teman SD yang saya kontrak beberapa hari sebelumnya untuk jadi guide saya hari ini, tiba-tiba mengatakan ada kerjaan di kampus yang mengharuskan dia untuk membatalkan janji kami hari ini. Tapi, pucuk dicinta ulam tiba, Rihma tahu-tahu menghubungi saya untuk sebuah ajakan jalan-jalan selepas dia pulang dinas. Waa, alhamdulillah, perjalanan saya di kota ini benar-benar penuh kejutan!

Tanpa membuang waktu, saya langsung menuju resto hotel untuk menyantap sarapan. Pagi pertama di Yogyakarta begitu menetramkan. Matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Orang-orang berlalu lalang di depan hotel dengan wajah sumringah. Segelas teh hangat manis dan dua lembar roti tawar melengkapi keutuhan pagi ini. Terasa menyenangkan, meski hanya seorang diri.

MALIOBORO 

Tujuan pertama saya usai sarapan adalah Malioboro (lagi). Saya kembali menyusuri jalanan ini dari ujung ke ujung. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 8, beberapa pedagang mulai membuka lapaknya, sejumlah kusir sudah berbaris rapi dengan delmannya, tapi belum banyak pengunjung yang mengitari kawasan ini.

Plang jalan Malioboro yang begitu "Legend"

Btw, Malioboro ini merupakan salah satu kawasan perbelanjaan legendaris di Yogyakarta yang terkenal dengan kerajinan atau makanan khas setempat. Sepanjang jalannya dipenuhi dengan ruko, lapak, dan hotel yang berjajar di pinggir jalan. Selain itu, di tempat ini juga dipenuhi oleh musisi jalanan atau seniman yang menampilkan bakatnya. I never get bored here, dalam ramai maupun lengangnya.

Jalanan Malioboro yang masih lengang


TITIK NOL KILOMETER YOGYAKARTA

Tujuan kedua saya adalah titik nol kilometer Yogyakarta. Dibekali suara dari mbak-mbak google maps, saya berjalan kaki mengikuti rute. Awalnya, saya mengira titik nol kilometer Yogyakarta ini adalah Tugu Yogyakarta. Sempat bego, karena sudah sampai tujuan, menurut google maps, tapi yang tampak di mata hanya sebuah petunjuk jalan dengan beberapa kursi di sekitaran jalan, tanpa ada penampakan tugu. Hingga akhirnya saya menyadari bahwa titik nol kilometer Yogyakarta dan Tugu Yogyakarta adalah tempat berbeda. Oke, besok-besok kalau mau traveling bikin itenary dulu, jangan asal jalan aja. Catet.

Perjalanan saya dari Malioboro sampai ke Titik Nol Kilometer ini tidak terlalu jauh, hanya sekitar 10 menit. Tapi berjalanan kaki dengan matahari yang terasa berpindah ke atas kepala, rasanya cukup lumayan untuk menguras tenaga. Saya memutuskan untuk beristirahat di kursi terdekat. It’s kinda hot here. Hanya ada saya, beberapa anak kuliahan yang sedang mengambil foto  kelulusan, dan beberapa bocah yang mengikik di belakang saya. Eh, tunggu, salah satu dari bocah itu  berjalan ke arah saya.

“Mbak, boleh minta fotonya nggak?” kata bocah itu.

Haaa? What are you talking about kid? Do you really wanna take a photo of me? An adult who has honey skin tone, unphotogenic face, and unattractive body?Okey, I didn’t say it to him. But course, I refused him. Sempat memaksa beberapa kali, sampai akhirnya saya memilih untuk beranjak pergi ke Museum Benteng Vredeburg yang berada di sebelah titik nol. Padahal belum sempat ambil foto. Sedih deh.

Bocah itu kembali berbicara kepada saya ketika saya baru berjalan beberapa langkah, “Maaf ya, mbak. Tadi itu prank”. 

Kid, seriusly, itsn't funny.

MUSEUM BENTENG VREDEBURG

Meskipun hanya destinasi pelarian, saya lumayan menikmati suasana outdoor museum ini. Tenang, rindang, dan lengang. Bahkan sangking lengangnya, saya sempat merinding sendiri. Tapi, beneran, buat saya, tempat ini nyaman banget buat jalan-jalan santai dengan teman-teman atau keluarga.

Nggak ketemu Tugu Yogyakarta, setidaknya ngeliat miniaturnya dulu.

Ohya, Benteng Vregeburg sendiri merupakan bangunan peninggalan Belanda, dimana dulu pernah menjadi lokasi untuk mengawasi pergerakan aktifitas Keraton dan pertahanan Belanda. Setelah melalui beberapa fase sejarah dan perubahan fungsi, melalui Surat Keputusan Mendikbud RI tahun 1992, secara resmi benteng ini dialih fungsikan menjadi museum khusus perjuangan nasional. Itulah mengapa akhirnya terdapat diaorama-diorama nasional yang ditampilkan di tempat ini.

Ada satu diorama yang saya masuki, saya lupa diorama berapa dan tentang apa, yang saya ingat di dalam gedung itu hanya ada saya dan beberapa orang di dalamnya. Tidak sampai 5 menit, entah kenapa saya merasa agak ‘kurang nyaman’ dan akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan di luar saja. Ah, sepertinya berjalan-jalan ke museum sendirian memang kurang sehat untuk saya.

Satu-satunya gedung yang sempat saya kunjungi.

Lelah berkeliling, saya menemplokkan pantat saya di kursi dekat miniature tugu Yogya. Tidak sampai beberapa menit, Rihma menelpon saya dan mengatakan kalau dia sudah dekat. Hore!

HOUSE OF RAMINTEN

Makan adalah hal yang paling pertama terpikir oleh saya dan Rihma. Dan untuk urusan ini, saya mengandalkan Rihma selaku penduduk lokal. Kami berhenti di House of Raminten, sebuah rumah makan yang mengusung nuansa tradisional Jawa. Nggak hanya tentang dekorasi yang serba Jawa, pramusaji di tempat makan ini pun menggunakan seragam ala pemuda dan gadis Jawa.

Selain itu, daftar menu makanannya juga out of the box. Siang itu, saya memesan ayam koteka dan es susu coklat. Tampilannya yang mesum aneh membuat saya tertarik dengan menu ini. Dan ternyata, tidak hanya tampilannya saja yang menarik, rasanya juga enak. Dari segi harga pun sangat terjangkau sekali. 

Ngomong-ngomong tentang Raminten. Nama tersebut merupakan nama tokoh yang pernah dilakoni oleh sang pemilik, yaitu Hamzah Sulaeman, di acara televisi Jogja TV yang berjudul Pengkolan. Jadi jangan heran ya kalau melihat sosok perempuan yang seperti laki-laki menjadi icon tempat makan ini. 

Bagi saya, ini adalah salah satu wisata kuliner yang harus banget dikunjungi ketika di Yogya sih. Dan jika besok ada kesempatan untuk kembali ke Yogya, saya pasti bakal balik lagi kesini. Endes!

Tampilan Ayam Koteka dan es susu coklat. Hayo ojo piktor.

PRAMBANAN

Setelah perut kenyang, waktunya kembali jalan-jalan. Kali ini kami menuju ke Prambanan, yakni sebuah komplek candi terbesar di Indonesia yang di bangun pada abad ke-9. 

Tampilan depan Candi Prambanan

Kami sampai di Prambanan ketika matahari sedang mekar-mekarnya. Meski panas membakar, tidak menyurutkan semangat saya untuk mengelilingi candi ini. 

Puas mengambil foto di kawasan Candi Prambanan, saya dan Rihma memutuskan untuk mengeliling candi lain sambil mencari air minum menggunakan sepeda gandeng yang kami sewa.

Saran saya, kalau kalian berencana untuk mengunjung wisata ini, jangan lupa bawa air minum dan payung, ya. Karena dua benda itu sangat berguna sekali untuk mencegah dehidrasi karena kepanasan disini.

Selesai mengelilingi seluruh candi, kami berhenti di truk gelato yang terletak di depan Museum Prambanan, bernama Temple Gelato. Wah, kurang romantis apa saya sama Rihma, jalan-jalan berdua pakai payung, naik sepeda berdua, sekarang makan gelato bersama. Sesama bujang memang harus saling mengasihi ya. Hehe.

Saya memesan galato rasa durian. Ini adalah gelato yang worth it banget dan lumayan enak untuk dinikmati setelah berpanas-panas mengelilingi Prambanan. Meski rasa susunya lebih mendominasi, tapi rasa duriannya nggak tenggelam. Enak!

Gelato Durian dan tangan saya yang kecoklatan.

Lelah mengelilingi Prambanan, kami melaju ke arah Bantul menuju rumah Rihma. Sampai di rumah, saya disambut dengan orang tua Rihma yang rame banget, terutama Ibunya. Rihma benar-benar dianugerahi orang tua yang asik banget. Jadi, kalau ada yang tertarik untuk meminang Rihma, percayalah, kamu akan memiliki mertua yang sangat easy going. For information, she’s still available. HAHAHA.

Bareng Rihma dan ibunya! 

Matahari mulai redup ketika kami kembali meramaikan jalan. Cuaca sore itu tidak terlalu mendukung, hujan dimana-mana. Akhirnya Rihma mengajak saya untuk nongkrong gaul di sebuah kafe yang kami lewati. Kami menghabiskan waktu untuk makan dan melakukan video call dengan geng ngopi kami. Piye kabare, rek? Ku rindu main kemah-kemahan sama kalian.

Ngopi cantik..

Lepas magrib, karena Rihma harus dinas malam, kami kembali menuju hotel. Malam itu saya berencana untuk kembali mengelilingi Malioboro untuk mencari oleh-oleh. Apa daya, hujan tidak kunjung berhenti. Meski hanya bisa anteng di hotel, saya cukup terhibur karena kedatangan tamu yang membatalkan janjinya pagi tadi, Denny. Yey!

Kami berbicara banyak hal. Tidak, tidak, kami tidak berbicara. Kami bergosip, dan kebanyakan waktu saya habiskan untuk mendengarkan Denny menyombongkan dirinya. But it was fun, tahu-tahu ngobrol sampai jam 3 pagi aja. Sayang banget, kita nggak sempat foto, ya Den.

Keesokan paginya, saya bergegas untuk mandi dan sarapan. Lalu, saya kembali ke Malioboro untuk berburu oleh-oleh. Itu adalah kali terakhir saya menginjakkan Malioboro, sebelum saya menuju Stasiun Yogyakarta menuju kota selanjutnya. I begin to miss Yogyakarta. Meski cuma sebentar, tapi rasanya sangat nyaman sekali berada disana. Ah, semoga besok masih ada kesempatan untuk berwisata kesana lagi.

Sebelum saya menutup tulisan ini, saya mau mengucapkan terima kasih kepada bapak kernek dan supir Damri yang sudah sudi mengantarkan saya di luar rute bus, kepada Rihma yang rela nganterin dan traktirin jalan-jalan padahal habis dinas malam, dan kepada Denny yang sudah bersedia hujan-hujan buat nyamperin aku. Tanpa kalian, aku bisa apa. Hehe..

Btw, menurut kalian, setelah COVID-19 mereda, enaknya jalan-jalan kemana ya?

Comments