Ade Menderita Kuliah Kak, Nikahin Ade Aja!


Kita habis kuliah imunisasi, kakak!
Belakangan ini aku kangen banget sama masa-masa kuliah dulu. Rasanya pengen banget cepat-cepat kuliah lagi. Pengen jadi mahasiswa lagi. Karena masa sesudah kuliah itu nggak seindah masa kuliah, kecuali kalau habis kuliah langsung dinikahin sama pengusaha kaya. Setelah resmi di wisuda, aku juga resmi jadi pengangguran, mau ngelamar kerja tapi cuma punya SKL, ijazah belum keluar, STR belum ada. Nasip.
Kalau inget masa kuliah dulu, jadi inget lagi gimana penderitaannya jadi mahasiswa keperawatan. Kali ini aku bakal ceritain apa saja penderitaannya jadi mahasiswa keperawatan, terutama D-III Keperawatan. Siapa tau aja kalian juga pernah ngalamin penderitaan yang sama. Do you want to know? Silakan baca paragraf berikutnya!

1. Pake Seragam

Ini seragam Pramuka kami, kakak.
Pernah nggak sih waktu SMA kalian ngebayangin gimana asiknya masa-masa kuliah? Pake baju bebas. Nggak perlu pake seragam. Bisa pake apa aja sesukamu. Kalau hangout bisa langsung setelah kuliah tanpa harus ganti baju dulu.
Sayangnya di kampus kami diharusin untuk pake seragam, sebenarnya bukan di kampus kami aja sih, tapi di seluruh kampus D-III Keperawatan. Kalau di kampus kami sendiri sih kami harus pake seragam yang sudah di gosok rapi, rambut harus hitam dan di sakrum (untuk wanita), sepatu harus pentofel dengan warna hitam licin setinggi 2,5 cm, belum lagi harus pake atribut kampus yang berupa pin kampus dan badge name.
Dosen aku bilang sih, kalau jadi perawat itu harus rapi, bersih, ganteng. Sebenarnya sih sampai sekarang aku masih bingung, kenapa kami sebagai perawat itu harus rapi, bersih, dan enak dilihat? Padahal tugas kami itu untuk merawat, bukan untuk main sinetron atau jadi model. Aku bisa nerima sih kalau alasannya itu “untuk meyakinkan klien, supaya mereka mempercayakan kita untuk merawat mereka, karena kita harus terlihat terawat sebelum merawat mereka”. Tapi aku bakal lebih nerima lagi kalau alasannya itu “supaya kalau kalian ketemu sama jodoh kalian, kalian nggak rembes-rembes amat”.
Tapi sebenarnya memakai seragam itu ada baik dan buruknya. Kita mulai dari buruknya dulu, buruknya itu kita nggak bisa eksis kaya di kampus-kampus lain yang bolehin mahasiswanya pake baju bebas dan kita nggak bisa pamerin baju baru yang baru di beliin sama pacar di loakan. Baiknya itu kita nggak perlu pusing mikirin ‘besok aku bakal pake baju apa?’ atau ‘besok aku bakal pake yang mana?’ dan kita nggak perlu ngerasa sirik sama teman yang gayanya lebih gahoelz dari kita gitu.

2. Upacara
Lagi di hukum, kakak. Disuruh upacara
sendiri gara-gara nggak turun upacaraa.
Kampus kami merupakan satu-satunya kampus yang kaya anak sekolahan yang harus melakukan upacara setiap Senin pagi. Kadang ngerasa beruntung sih bisa upacara kaya anak sekolahan, karena kami nggak perlu kangen sama masa-masa upacara waktu sekolah. Tapi kadang kami juga merasa menderita, karena kami harus bangun, harus bersiap-siap, dan harus berangkat lebih pagi dari biasanya. Belum lagi kalau cuacanya panas menyengat dan kami harus tetap berdiri dalam waktu 30 - 60 menit.
Saat upacara adalah dimana kami dari tiga jurusan dari berbagai tingkatan berkumpul bersama di lapangan. Berbagai macam kegiatan lain dapat di lampirkan bersamaan saat upacara, upacara dapat menjadi ajang mengumumkan kegiatan organisasi, ajang pelantikan organisasi, ajang pemberian penghargaan atas prestasi, ajang dihukum karena datang terlambat atau nggak tertib saat upacara, dan ajang kegiatan lainnya. 

3. Tugas Individu yang Datang Silih Berganti
Do my assignment, please!
Tugas adalah sumber penderitaan dari mahasiswa. Betul banget. Kadang aku suka ngerasa pengen tenggelam di bawah tanah dan pura-pura mati supaya nggak perlu ngerjain tugas yang nggak berhenti-berhentinya.
Sebenarnya waktu kuliah sih, tugas individu itu nggak banyak-banyak amat. Yang banyak itu waktu praktek. Udah lagi praktek, banyak tugas pula. Mampus. Tugas waktu praktek itu nyiksa. Sejak aku kuliah, aku udah mulai terlatih untuk menjadi insomnia, gimana enggak, tiap malam nugas terus cyiin nggak abis-abis. Nggak jarang harus konsisten untuk menyelesaikan tugas dari pagi, siang, malam, dan ke pagi lagi. Nggak tidur satu atau dua hari itu udah biasa. Siksa ade kak, siksa!

4. Siap-Siap Dipanggil “Adeeee!”
"Adee!" | "Iya, Kak!"
Ya, kalau kamu mahasiswa keperawatan yang bentar lagi turun untuk praktek, kamu harus ngorek kuping kamu dan belajar sensitif kalau dipanggil “ade” walau pun itu bukan nama kamu. Mau di Rumah Sakit atau pun di Puskesmas, panggilan kamu bakalan berubah, bukan cuma kamu tapi semua teman-teman kamu juga bakal berubah. Kamu bakal di panggil “Ade” dan nama panjangmu adalah “Ade Mahasiswa”.
Ada ade, maka ada kakak. Lalu siapa yang jadi kakak? Kakak adalah bagaimana kita memanggil pegawai di ruangan tempat kita berdinas. Mereka bakal di panggil “Kakak” dan nama panjangnya adalah “Kakak Ruangan”.

5. Tugas Kelompok = Tugas Individu
Sebagian mahasiswa pasti pernah ngerasain hal ini. Tugasnya sih harusnya dikerjain secara kelompok, secara rame-rame biar terasa mudah, tapi pada akhirnya hanya satu atau dua orang yang mengerjakan, dan yang lain cuma numpang titip nama atau numpang basa-basi nanya “Ada yang bisa dibantu?”.
Belum lagi kalau tugas itu tugas PKL atau tugas Manajemen Keperawatan yang Masya Allah tebelnya bukan main. Tidur nggak tenang, makan nggak enak, nggak punya pacar pula. Serem.
Tapi inti dari ngerjain tugas kelompok secara individu adalah kita bisa jadi orang yang paling pinter sendiri dalam menguasa meteri tugas kita. Karena kita bisa belajar sambil mengerjakan tugas. 


6. Responsi
Biasanya kalau lagi praktik, kita bakal di kasih hadiah berupa tugas individu. Tugasnya bisa apa aja, bisa laporan pendahuluan, bisa asuhan keperawatan, bisa avtivity daily living, dan bisa juga standar operasional prosedur. Dan tugas-tugas itu semua harus ditulis tangan. Pegel nggak tuh.
Dan biasanya setelah kita menyelesaikan tugas, kita bakal di kasih hadiah tambahan yaitu harus responsi dengan dosen atau kakak ruangan. Itu artinya kita harus belajar supaya bisa ngejawab pertanyaan dari dosen atau kakak ruangan yang lagi nguji kita. Tapi sebenarnya responsi ini merupakan ajang untung-untungan, kadang dapat penguji yang baik jadi nanyanya cuma sedikit dan dengan pertanyaan yang gampang, kadang dapat penguji yang kaya malaikat jadi cuma sekedar ngumpul dan minta tanda tangan, dan kadang dapat penguji yang rewel jadi kita harus ‘ngeladenin’ pertanyaan-pertanyaan sampai penguji itu puas.
Tapi sebenarnya dapat penguji yang rewel itu nguntungin banget loh, walau pun nanyanya nggak kira-kira, walau pun responsi bisa berjalan dari 30 menit sampai 1 jam lebih, tapi kita bisa dapat ilmu lebih dari penguji tersebut. Kita bisa jadi makin pinter deh. Dan yang harus kalian tau, ilmu yang kita dapat waktu responsi itu lebih gampang di ingat dari waktu kuliah di kelas.

7. Derita Konsultasi
Waktu kuliah dulu, kami di wajibkan untuk ngebuat suatu penelitian. Padahal di beberapa kampus lain, hanya di wajibkan untuk membuat proposal penelitian aja. Tapi di kampus kami ini, kami di wajibkan membuat proposal penelitian, melakukan penelitian, sampai membuat hasil penelitian.
Kali ini aku bakal coba cerita pengalaman aku waktu konsultasi dengan dosen pembimbingku dalam mengerjakan penelitian. Nah waktu itu kebetulan aku dapat pembimbing yang baik banget kaya malaikat, cuma sayang suka sibuk. Sebelumnya aku pengen jelasin kalau kampus aku itu terbagi dua, di Samarinda Sebrang dan di Samarinda Kota. Berhubung pembimbingku adalah orang sibuk, jadi keberadaan beliau itu ya suka-suka beliau, kadang ada di Samarinda Kota dan kadang ada di Samarinda Sebrang tapi kadang juga ada di luar kota.
Sebenarnya menjadi mahasiswa yang dibimbing oleh beliau ini adalah suatu kebanggaan dan juga suatu penderitaan. Sering banget aku menghubungi beliau ini untuk konsul, dan nggak jarang jawabannya itu “Saya ada di luar kota”. Lain lagi kalau beliau saat di hubungin ternyata ada di Samarinda Sebrang sedangkan saya di Samarinda Kota, merupakan suatu pengorbanan banget menempuh perjalanan jauh yang memakan waktu ± 30 menit hanya untuk konsul dengan beliau yang hanya berjalan paling lama ± 15 menit. Belum lagi kalau aku udah rela-rela nempuh hujan - panas dari Samarinda Kota ke Samarinda Sebrang buat nemuin beliau, tapi beliaunya lagi rapat atau lagi ke Samarinda Kota untuk menghadiri undangan dari dosen lain. Harus rela banget deh menghabisi berjam-jam waktu hanya untuk menunggu beliau ini.
Tapi alhamdulillah pembimbing aku ini bukan orang yang suka ribet, beliau malah suka mempermudah mahasiswanya. Oleh karena itu aku bersyukur banget dapat pembimbing seperti beliau ini. Terima kasih, Bapak Pembimbing!

Well, sebenarnya masih banyak banget penderitaan yang pernah aku alami di masa kuliah dulu. Tapi mungkin untuk kali ini cukup sekian penderitaan yang bisa aku ceritakan. Dan buat kalian para pembaca yang masih berstatus mahasiswa, aku pengen berpesan, “Always try to do the best. Nikmatilah masa kuliah kamu walau pun terasa amat berat. Jangan pernah menyerah, maju pantang mundur. Merdeka!”


Buat kalian yang pengen share penderitaan yang kalian alami selama kuliah, bisa share di comment box di bawah ini. Thanks for reading!

Comments