Meet Yogyakarta (1) : Sebuah Perjalanan


Yes, I know it’s not the right time to talk about traveling. Saya tau, negeri ini sedang menggebu-gebunya untuk melakukan social distancing demi mencegah terjadinya penularan COVID-19. And that’s what I do right now, sitting on my chair in  my own room and writing this post. Tapi beneran deh, sebagai tenaga kesehatan, saya juga mulai jenuh banget sama COVID-19 ini, di kantor yang dihadapi pasien COVID-19, liat whatsapp yang diomongin COVID-19, buka instastory isinya COVID-19 lagi, ngintip twitter yang dibahas masih COVID-19. You know what I feel, don’t you? Oleh karena itu, disini saya memohon izin untuk memutar kembali kehidupan saya 4 bulan yang lalu, ketika satu-satunya yang tidak baik-baik saja hanyalah hati saya.

Introduction : Tulisan ini agak sedikit panjang, oleh karena ini saya akan membaginya menjadi beberapa bagian. Harap maklum. Hehe..

Tanggal 5 Desember 2020, kala itu matahari sudah terbenam dan lampu-lampu mulai dinyalakan. Deretan pesisir pantai terhampar di pinggir sebuah bandara, menyajikan pemandangan yang cukup menetramkan meski dalam kegelapan. Saya menatap ke arah luar jendela pesawat, diam-diam mengkhawatirkan diri untuk perjalanan yang konyol ini, meski sebenarnya merasa begitu bersemangat.

Kali ini saya beranjak pergi ke sebuah kota yang menarik ± 4.000.000 wisatawan dalam setahun, yakni Yogyakarta. Kota yang pernah menjadi ibu kota negeri ini dan terkenal dengan gudeknya. Saya nggak punya banyak cerita di kota ini, hanya beberapa kenangan bersama keluarga ketika saya belum diracuni dengan PlayStation oleh kakak-kakak saya. Tapi nggak apa-apa, kali ini saya akan membuat kenangan untuk saya sendiri.

Aku dan Yogyakarta

Saya menginjakkan kaki di Yogyakarta International Airport. Bandara ini tampak sepi, beberapa titik masih dalam pengerjaan karena baru dibuka beberapa bulan yang lalu. Kabar buruknya, bandara ini masih jauh dari pusat kota Yogyakarta, tepatnya di Kulon Progo.

Ada cerita lucu kenapa saya bisa mendarat di Yogyakarta International Airport. Jadi, sahabat saya yang semoga-segera-mengakhiri-jomblonya, Rihma, memiliki itikad baik untuk menjemput saya di bandara. Tapi masalahnya, ketika saya berangkat ke Yogyakarta, Rihma harus dinas malam. Alhasil saya, yang pada saat itu libur lepas malam, berusaha mengejar pesawat yang tidak terlalu pagi agar saya bisa siap-siap sepulang kerja dan tidak terlalu malam agar Rihma bisa menjemput. Akhirnya, terpilihlah penerbangan jam 17.00 dari Bandara Sepinggan Balikpapan dengan Batik Air. Setelah reservasi tiket, saya pun mengabari Rihma tentang penerbangan saya. Dan ternyata setelah ditelaah, pesawat yang saya pilih mendarat di Yogyakarta Intenational Airport yang berada jauh banget dari rumah Rihma yang letaknya di Bantul. Kami berdua lupa kalau Yogyakarta punya 2 bandara sekarang. Pendek kata, mau nggak mau, saya harus pergi ke arah kota Yogyakarta sendirian. But, I didn’t regret it. Saya sangat menikmati penerbangan ini dengan ditemani film “Guru Ngaji” di layar dan hidangan roti yang manis, tanpa ada celah kecewa.

Bagaimana saya sampai ke kota Yogyakarta adalah salah satu hal yang membuat saya gelisah. Saya bisa saja dengan mudah sampai kesana dengan mobil online, tapi karena saya punya bibit waham curiga dengan orang asing, apalagi hanya berdua di dalam mobil. I won’t do it.

Lalu bagaimana saya bisa sampai di Yogyakarta? Dengan mengantongi beberapa informasi dari google dan arahan dari Rihma, saya pun memberanikan diri untuk mantap berjalan. Saya hanya harus menaiki shuttle bus Damri menuju stasiun Wojo, lalu memilih kereta api menuju Stasiun Yogyakarta yang terletak dekat dengan penginapan saya. Saya pun bergegas menuju loket Damri, dan menemukan kenyataan bahwa shuttle bus terakhir dengan tujuan stasiun Wojo baru saja berangkat.

“Tapi Damri buat ke arah Stasiun Yogya masih ada, mbak?” tanya saya, masih mencari akal.

“Ke Yogya masih ada, nanti ngomong aja ke supirnya mau berhenti dimana.” jawab petugas loket.

Dengan mantap, saya langsung saja memesan satu kursi untuk saya. Setelah diberi petunjuk mengenai letak bus yang akan saya naiki, saya langsung pergi ke lokasi yang disebutkan. Di dalam  bus, hanya ada saya dan satu penumpang perempuan lainnya yang sibuk tertidur dengan boneka merah mudanya. Petugas kenek sempat bertanya kepada saya, dimana saya mau diturunkan. Karena saya sama sekali tidak tahu daerah Yogyakarta, saya hanyamenjawab, “Dimana saja deh, pak. Yang kira-kira dekat dari Stasiun Yogyakarta.”

Menurut keterangan dari petugas kenek, jadwal bus yang saya naiki adalah bus yang tidak melalui rute kota. Dan suka tidak suka, saya harus diturunkan ke daerah yang searah dengan rute bus. Namun, beliau menyarankan saya untuk berhenti di satu wilayah yang aku-lupa-apa tapi katanya agak dekat dengan kota, aku pun tidak bisa berbuat apa-apa selain menyetujuinya.

Jadwal Bus Damri dengan Tujuan YIA. Sumber : damri.co.id

Perjalanan malam itu terasa sangat lama. Jalan-jalan tampak sepi, hanya beberapa kendaraan yang turut berlalu-lalang. Rumah-rumah terlihat sunyi, seolah menyembunyikan kehangatan di dalamnya. Setengah perjalanan telah berlalu ketika tiba-tiba petugas kenek berbicara lagi kepada saya, “Mbak, karena ini tujuannya nggak ada yang searah sama rute bus, nanti kami turunkan aja di dekat stasiun Yogyakarta aja, ya”.

Saya auto bahagia dong. Alhamdulillah banget dapat kenek dan sopir yang baiiiiik banget. Saya pun diturunin di sebuah persimpangan jalan yang letaknya hanya ± 10 menit dari hotel saya. Setelah itu, saya pun memesan ojek online untuk langsung menuju hotel.

Saya sampai di hotel sekitar jam 9 malam. Dengan kondisi perut yang mulai lapar, karena terakhir kali saya menyantap makanan ketika saya baru sampai di Bandara Sepinggan Balikpapan. Saya pun langsung gercep untuk check in, menaruh barang-barang di loker, dan segera meluncur untuk kulineran. Ohya, selama di Yogyakarta, saya menginap di The Capsule Hotel Malioboro, nanti saya akan buat tulisan tentang hotel ini secara tersendiri di tulisan selanjutnya. Doain panjang umur!

Beralaskan sandal gunung, dan kondisi tubuh yang belum mandi, saya melangkahkan kaki ke kawasan Malioboro yang terletak hanya beberapa puluh langkah dari hotel saya. Ngomong-ngomong, ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Malioboro. Karena udik sekaligus laper, saya menyusuri dari ujung ke ujung Malioboro hanya untuk mencari makanan, sebelum akhirnya  saya memutuskan untuk makan di warung pinggir jalan yang nggak terlalu rame. Jadi, kalau kalian pernah liat perempuan mondar-mandir dengan baju serba hitam pada malam minggu pertama di bulan Desember 2019 saat kalian mengunjungi Malioboro, bisa saja itu saya. Hehe..

Malam itu saya menyantap udang asam manis dan segelas es teh di iringi dengan nyanyian pengamen jalanan. Saya nggak akan review tentang makanannya karena tidak ada yang spesial. Tapi, saya jatuh cinta banget sama es dawet durian yang saya beli saat perjalanan pulang ke hotel. Saya nggak ingat namanya, tapi yang saya ingat, saat itu rombongnya berhenti di sekitar depan toilet umum. Tenang, biar dikata dekat dari closet tapi bersih kok. Harganya hanya 10 ribu, tapi isi duriannya nggak main-main. Endess pol! Kalian jangan lupa nyoba es dawet ini ya kalau ke Malioboro! 

PS : Maaf banget kalau di part ini nggak bisa sisipin foto, karena hari itu bener-bener fokus menikmati perjalanan. Sekali pun punya foto, jejaknya hilang entah kemana. Tapi insyallah, stok foto untuk part selanjutnya ada aja. Sampai jumpa di part setelah ini ya. Sehat-sehat selalu!

To be continued..

Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. Fix, ntar aku cobain rekomen icip-icip es dawet durian di Jogja.
    Pengin nih jadinya 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepakat. Harus banget nyobain es dawet duriannya Yogya!

      Delete

Post a Comment